Pilkada serentak hari ini adalah panggung besar politik Indonesia. Di satu sisi, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, tampil percaya diri dengan narasi stabilitas dan kesinambungan pembangunan. Mereka membawa janji bahwa dengan mereka di puncak kekuasaan, semua akan tetap aman dan terkendali.
Di sisi lain, Kelompok Kerakyatan di bawah bendera PDIP mencoba bangkit dari kekalahan Pilpres 2024. Dengan membawa semangat perubahan dan isu-isu pro-rakyat kecil, mereka berharap bisa mencuri perhatian dan kembali ke puncak permainan politik.
Namun, sebelum kita berbicara tentang adu kekuatan hari ini, mari kita flashback ke tahun 2019, sebuah periode di mana politik Indonesia penuh drama seperti reality show yang tidak pernah kehabisan episode.
Di Pilpres 2019, kita menyaksikan pertarungan besar antara narasi moderasi yang diusung Jokowi-Ma'ruf Amin melawan narasi perubahan yang digerakkan Prabowo-Sandi. Ketegangan memuncak dengan isu agama dan identitas menjadi senjata utama. Media sosial penuh dengan debat panas, bahkan grup WhatsApp keluarga berubah menjadi ajang "siapa paling benar."
Salah satu momen paling diingat adalah bagaimana agama digunakan sebagai alat politik.
Debat politik berubah menjadi perang narasi moralitas, dan polarisasi di masyarakat menjadi begitu tajam. Saat itu, hampir semua diskusi, baik online maupun offline, berakhir dengan garis pemisah yang tegas: "kami" versus "mereka." Bahkan setelah Pilpres selesai, efeknya masih terasa, meninggalkan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Kini, Pilkada 2024 membawa dinamika yang berbeda. Narasi agama yang dulu mendominasi telah bergeser. Kali ini, panggung utama dikuasai oleh isu sosial-ekonomi. KIM Plus datang dengan janji stabilitas---"Pilih kami, dan pembangunan akan terus berlanjut tanpa hambatan."
Sementara itu, PDIP dengan semangat Kelompok Kerakyatan menawarkan janji besar untuk rakyat kecil, dari reforma agraria hingga kesejahteraan petani. Mereka berusaha mengangkat isu-isu nyata yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Namun, di balik janji besar itu, ada satu pertanyaan besar, apakah ini benar-benar tentang rakyat, atau hanya tentang kursi kekuasaan?
Menariknya, Pilkada ini terasa seperti pertandingan ulang, tapi dengan arena baru dan strategi yang berbeda. Jika tahun 2019 pertarungan politik didominasi oleh narasi agama, kali ini adu strategi lebih fokus pada ekonomi dan kesejahteraan.
KIM Plus menggunakan kekuatan koalisi besar untuk mendominasi daerah-daerah strategis, sementara PDIP mengandalkan jaringan akar rumput mereka di kantong-kantong suara tradisional.
Namun, tak peduli seberapa besar narasi perubahan atau stabilitas, kita semua tahu bahwa permainan politik ini tidak lengkap tanpa kehadiran "serangan fajar." Ya, tradisi amplop yang muncul di tengah malam masih menjadi bumbu wajib setiap Pilkada.