Ada yang bilang, "Pernikahan itu seperti cokelat praline---manis di awal, tapi lama-lama bikin eneg." Tapi setelah 26 tahun menikah, saya bisa bilang, nikmat pernikahan itu memang cuma 10% di awal, tapi sisa 90%-nya sangat-sangat nikmat sekali... asalkan tahu cara menjalaninya. Narasi ini adalah pengalaman hidup pribadi penulis, bukan sebagai ahli pernikahan.
10% Nikmat di Awal, Bulan Madu Penuh Mimpi
Awal pernikahan itu kayak naik wahana bianglala di taman hiburan. Semua serba indah, dunia terasa milik berdua, dan hidup berjalan tanpa beban. Pasangan masih wangi parfum akad nikah, rumah rapi, dan makan mie instan di kontrakan pun terasa istimewa.
Tapi, bulan madu nggak selamanya. Begitu anak pertama lahir, hidup jadi lebih "nyata." Masalah baru mulai muncul, dari popok sampai biaya sekolah, dari cicilan rumah sampai utang mobil. Di sinilah 10% fase manis itu berakhir, dan sisa 90% perjuangan dimulai. Tapi jangan salah, di fase inilah nikmat sebenarnya muncul, meski kadang tersembunyi di balik tantangan.
Sisa 90%, Nikmat yang Sangat-Sangat Luar Biasa
Nikmat 90% dalam pernikahan itu datang dari kebersamaan, kerja sama, dan perjuangan. Misalnya, ketika anak pertama lahir, 3,5 tahun kemudian kami sudah harus memikirkan biaya pra-sekolah. Lanjut ke TK, SD, hingga sekolah favorit yang biayanya kadang bikin deg-degan setiap bulan. Tapi dari perjuangan inilah, saya dan pasangan justru menemukan arti pernikahan yang sebenarnya.
Anak-anak menjadi perekat dalam rumah tangga. Dengan empat anak yang tumbuh di tengah-tengah kami, rasanya nggak ada ruang untuk kesepian. Bermain bersama mereka, pergi berwisata, atau sekadar ngobrol santai di rumah, semuanya punya multi fungsi. Anak-anak bahagia, orang tua pun bisa saling berinteraksi dan semakin dekat.
Masalah keuangan? Itu juga bagian dari nikmat luar biasa. Setiap bulan ada tantangan baru: bagaimana mencukupi kebutuhan anak-anak, membayar cicilan, dan tetap menjaga kestabilan rumah tangga. Tapi justru di situ, saya belajar pentingnya keterbukaan dalam pernikahan.
Lonely Marriage? Apa Itu ?
Buat saya, istilah lonely marriage itu rada absurd. Dengan empat anak, rasanya kesepian itu barang mewah yang nggak pernah ada di rumah kami. Kalau ada waktu luang, ya mending tidur! Tapi kalau mau serius, potensi lonely marriage memang tetap ada kalau pasangan nggak punya tujuan yang jelas.
Pertama, pasangan harus punya tujuan bersama. Jangan cuma fokus ke manis-manis di awal, karena itu cuma 10%. Pikirkan jangka panjang punya anak, membesarkan mereka, dan membangun ekonomi keluarga. Tujuan ini yang bikin hidup pernikahan lebih seru dan penuh warna. Kalau nggak ada tujuan, rasa sepi gampang menyelinap.