Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid Azar

Praktisi Bisnis

Rekomendasi Film Festival:"Yowis Ben" Lentera yang Menusuk Jantung Budaya Lokal

Diperbarui: 21 November 2024   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tokoh Utama Film Yowis Ben (Kompas.com)

Ada sesuatu yang tak biasa dari Yowis Ben. Ia tidak sekadar film, ia adalah perjalanan, sebuah cermin yang memantulkan wajah budaya lokal kita yang kian memudar di tengah gemerlap modernitas. Lewat tangan Bayu Skak, seorang arek Malang yang mencintai akar budayanya, film ini tidak hanya berbicara, tetapi berteriak lantang bahwa budaya lokal adalah jati diri yang tak boleh mati.

Luka Lama Budaya yang Terpinggirkan

Ludruk, seni rakyat yang pernah mengguncang panggung Jawa Timur, kini seperti pengembara di tanah asing. Namanya ada, tetapi rohnya hampir hilang. Dalam Yowis Ben, Bayu Skak mencoba menghidupkan kembali seni yang terpinggirkan ini. Adegan Cak Kartolo dan Cak Sapari di warung pecel bu Jum (ibunda Bayu) bukan hanya komedi biasa. Itu adalah pengingat pahit tentang betapa budaya ini pernah menjadi denyut kehidupan rakyat, dan kini perlahan tergantikan oleh layar-layar modern yang terlalu cepat berganti gambar.

Dialog ceplas-ceplos mereka adalah tawa getir, menyisipkan humor yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyayat. Setiap kata seperti memanggil kita untuk berhenti sejenak dan bertanya, "Apa yang telah kita lakukan pada warisan ini?"

Bahasa yang Menghidupkan Jiwa

Ada sesuatu yang magis ketika bahasa Jawa memenuhi layar lebar. Dalam dunia yang sering kali mengagungkan satu bahasa global, Yowis Ben dengan berani menyodorkan identitas lokalnya. Bahasa Jawa dalam film ini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi suara jiwa, penghubung masa lalu dan masa kini.

Bayu Skak menggunakan bahasa ini untuk membawa penonton masuk ke dunia yang lebih nyata, lebih intim. Tawa yang muncul dari guyonan khas Jawa Timur terasa lebih jujur, lebih hidup. Di balik setiap kata, ada kebanggaan yang perlahan kita lupakan. Film ini mengingatkan kita bahwa bahasa bukan hanya alat  ia adalah rumah, tempat kita kembali ketika dunia terasa asing.

Kisah Rakyat yang Dekat di Hati

Bayu, Doni, Yayan, dan Nando adalah cerminan rakyat kecil yang bermimpi besar. Mereka tidak sempurna, tetapi justru dalam ketidaksempurnaan itulah letak keindahan mereka. Kisah mereka bukan hanya tentang membentuk band atau memenangkan hati seseorang. Kisah mereka adalah tentang bertahan, tentang menemukan makna dalam hidup yang sering kali terasa terlalu rumit.

Warung pecel bu Jum adalah pusat dunia mereka, tempat di mana seni, tawa, dan kehidupan bertemu. Dalam kesederhanaan tempat ini, Yowis Ben menunjukkan bahwa budaya tidak harus megah untuk bermakna. Kadang, ia hidup dalam hal-hal kecil dalam sebuah guyonan, dalam sepiring pecel, dalam sebuah lagu yang dinyanyikan dengan sepenuh hati.

Heroisme yang Berbicara dalam Diam

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline