Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid Azar

Praktisi Bisnis

Doktornya Doktor dan Profesornya Profesor Sejati

Diperbarui: 27 Oktober 2024   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sang Doktor (sumber Pexels.com)

Ketika saya memulai Program Pascasarjana, saya memasuki dunia akademis yang penuh teori dan filsafat. Namun, saya juga datang dengan kepercayaan diri sebagai seorang praktisi bisnis, yang bertahun-tahun bergelut dengan tantangan nyata di lapangan. Pengalaman di dunia bisnis mengajarkan banyak hal---beradaptasi dengan perubahan, mengantisipasi risiko, dan tentu saja, memperkuat lini bisnis demi mencapai target perusahaan. Para dosen dan profesor di kampus menghargai pengalaman ini, bahkan sering mengakui bahwa pencapaian di dunia nyata tak kalah berharganya dibandingkan teori akademis. Mereka menyebut saya telah menyelesaikan "universitas kehidupan," yang memberi bekal tak ternilai untuk memahami dunia dari perspektif nyata.

Pengalaman ini membuat saya merenungkan apa arti gelar dalam dunia profesional, terutama ketika melihat tokoh-tokoh besar seperti Alvin Toffler, John Naisbitt, Emha Ainun Nadjib, dan Rhoma Irama. Tanpa gelar akademis sebagai doktor atau profesor, mereka mencapai tingkat pengetahuan dan kebijaksanaan yang tidak kalah dengan akademisi berderajat tinggi. Merekalah figur-figur yang telah menjadi "Doktornya Doktor" dan "Profesornya Profesor" bagi banyak orang. Pengalaman hidup mereka di universitas kehidupan menjadikan mereka pemimpin, inspirator, dan guru besar dalam bidang masing-masing. Di sinilah kita melihat bahwa gelar formal sering kali hanya sebuah tanda; kebijaksanaan dan prestasi nyata datang dari pengalaman hidup.

Realitas Pencapaian Gelar Akademis dalam Dunia Profesional

Hari ini, pencapaian akademis seperti gelar doktor seolah dipaksakan sebagai barometer utama kelayakan seseorang untuk menjadi pejabat negara atau pimpinan BUMN. Penerapan syarat ini telah melahirkan banyak tenaga ahli bergelar profesor dan doktor, yang duduk di balik meja, memeriksa dan menghitung angka kemungkinan. Namun, sering kali mereka hanya berfokus pada aspek teoretis, memprediksi dan menganalisis tanpa pengalaman praktis yang mendalam. Berbeda dengan para pemimpin yang lahir dari dunia nyata---mereka adalah petarung tangguh, yang menghadapi tantangan langsung, mengejar target, dan berkontribusi nyata pada kesejahteraan perusahaan dan kepentingan para pemegang saham.

Dalam hal ini, kita melihat bahwa para petarung lapangan tidak hanya berbicara dalam kerangka teori, tetapi justru menciptakan pencapaian dan keberhasilan konkret. Figur-figur seperti Alvin Toffler, John Naisbitt, Emha Ainun Nadjib, dan Rhoma Irama adalah contoh nyata dari "profesor kehidupan." Mereka tidak perlu gelar doktor atau profesor untuk menjadi rujukan atau guru besar dalam bidang masing-masing. Mereka membuktikan bahwa pengalaman langsung di lapangan bisa membentuk seseorang menjadi sosok yang memiliki wawasan yang lebih dalam dan relevan.

Alvin Toffler.Memprediksi Masa Depan dari Universitas Kehidupan

Alvin Toffler adalah seorang futurolog besar yang tak memiliki gelar akademis di bidang sosiologi atau ilmu sosial. Ia memulai kariernya sebagai buruh pabrik, sebuah pekerjaan yang mungkin tampak jauh dari pemikirannya yang mendalam tentang perubahan sosial. Namun, pengalaman ini memberinya sudut pandang unik, memungkinkannya melihat dunia dari perspektif lapangan. Dalam bukunya yang terkenal, Future Shock, Toffler menggambarkan fenomena "kejutan masa depan" yang terjadi ketika perubahan datang terlalu cepat untuk diserap masyarakat. Ia juga mengulas konsep information overload atau kelebihan informasi, yang kini menjadi tantangan besar di era digital.

Toffler adalah seorang "doktor kehidupan" yang berhasil memprediksi perubahan sosial, teknologi, dan budaya jauh sebelum dunia menyadarinya. Keahliannya untuk melihat tren dan dampak jangka panjang dari perubahan global menjadikannya seorang "profesor masa depan," meskipun ia tidak memiliki titel akademis resmi di bidang tersebut. Ia membuktikan bahwa pengalaman hidup, pengamatan mendalam, dan keberanian untuk berpikir di luar kebiasaan mampu melampaui batasan formal akademik.

John Naisbitt, Membaca Megatrends Tanpa Gelar Formal

John Naisbitt, penulis Megatrends, juga tak memiliki gelar tinggi dalam ilmu prediksi atau sosiologi. Meskipun begitu, ia berhasil membaca pola besar dalam masyarakat global dan menciptakan konsep "megatrends" yang diakui di seluruh dunia. Dengan memperkenalkan perubahan besar dalam tren sosial, ekonomi, dan teknologi, Naisbitt menunjukkan bahwa wawasan tentang masyarakat tidak selalu datang dari ruang kelas, tetapi dari ketajaman dalam memahami realitas dan kecenderungan global.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline