Oleh Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis Buku
Pakar bidang sosiologi bernama Jurgen Habermas pernah bilang "knowledge is power". Ada yang menerjemahkan pernyataan Habermas itu dengan kalimat "ilmu pengetahuan itu adalah kekuatan" atau ilmu pengetahuan itu adalah kekuasaan. Siapa yang mempunyai ilmu pengetahuan atau Iptek sama artinya dengan menggenggam kekuatan, berdaya dengan kekuasaan, atau mempunyai sumber-sumber keutamaan yang orang lain belum tentu memilikinya.
Kalau mengikuti dalil Habermas itu, maka dapat ditafsirkan, bahwa seseorang atau masyarakat di muka bumi ini harus menjadi seseorang atau masyarakat berilmu. Karena seseorang itu hidup sebagai bangsa dan unsur negara, maka dirinya harus bisa mencerminkan sebagai pilar yang membentuk dan mewarnai negara atau bangsa supaya menjadi bangsa atau negara yang dihuni oleh masyarakat berilmu, masyarakat terdidik, atau bangsa berkapabilitas Iptek.
Menurut Mufassir (ahli tafsir) kenamaan Prof. Dr. Quraish Shihab, Al-Qur'an menggunakan kata 'ilm dalam berbagai bentuk dan artinya sebanyak 854 kali. Antara lain "sebagai proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan (QS, 2: 31-32). Dalam Seminar Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, ada dua klasifikasi ilmu, pertama, ilmu abadi (perennial knowledge), yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam Al-Qur'an dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya, kedua, ilmu yang dicari (acquired knowledge), termasuk sains kealaman dan terapannya yang berkembang secara kualitatif.
Kata 'ilm yang disebut 854 kali tersebut menunjukkan, bahwa Iptek merupakan modal besar dan istimewa bagi manusia, bangsa, negara, dan masyarakat dunia untuk menggapai kemajuan dan pencerahan dalam hidupnya. Berbagai tokoh kaliber dunia semacam Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, dan lainnya, adalah cermin sosok yang menempatkan Iptek sebagai jalan menuju kemajuan dan kesejatian dalam hidupnya.
Sejarah menunjukkan misalnya, perhatian Nabi yang sangat besar terhadap masalah ilmu saat menjatuhkan "hukuman bersifat edukatif" kepada tawanan-tawanan perang. Beliau menghukum tawanan perang untuk menjadi guru-guru bagi pengikutnya yang masih buta aksara dan baca. Kebijakan penghukuman ini ditujukan untuk membebaskan umatnya dari kebodohan dan keterbelakangan.
Faktanya, seseorang, bangsa, dan negara menjadi kuat dan disegani di muka bumi ini berkat kemampuan Ipteknya. Melalui ilmu pengetahuan yang dikuasai, seseorang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, membebaskan masyarakat dari kebodohan, mengentas identitas keterbelakangan menuju kemajuan dan pencerahan, menggali bahan-bahan baku alam untuk diproduk menuju tercapainya kepentingan publik, dan yang lebih utama adalah mendekatkan kepada Tuhannya (Imam, 2007).
Apa memang benar kalau dengan Iptek, manusia bisa dekat dan mendekati Tuhannya? Tentu saja jawabannya "ya". Karena dari Iptek ini, manusia bisa mengasah kemampuan nalarnya untuk menyelidik dan mendiskusikan sejarah proses penciptaan dirinya, rotasi alam, dan kemanfaatan makhluk hidup lainnya di bumi maupun di langit.
Saat ilmu digunakan, perubahan akan banyak terjadi di dunia. Ketika manusia bisa menggunakan ilmunya untuk menerjemahkan dan menafsirkan tanda-tanda alam atau berhasil membaca isyarat yang "dinyanyikan" makhluk hidup lainnya, maka manusia akan bisa memasuki bagian dari episode kesejatian hidupnya. Manusia tidak sampai merasakan kehampaan, kesia-siaan, dan ketidakbergunaan, karena di dalam nalar dan dirinya ada hasrat membaca dan membimbingnya ke arah kreatifitas dan kearifan sebagai wujud jati diri kepemimpinannya di muka bumi (khalifah fil-arld), yang merupakan amanat istimewa.
Bangsa Indonesia ini sudah banyak mendapatkan pelajaran yang berelasi dengan moral, teologis dan Iptek. Dalam kasus Tsunami misalnya ada pelajaran berharga, bahwa binatang di Aceh (Nagroe Aceh Darussalam) sebelum terjadinya bencana Tsunami, ternyata mampu merasakan suatu bahaya besar yang sedang mengancamnya yang berasal dari laut. Dan untuk menghindari bencana yang akan mengancamnya ini, binatang-binatang itu memilih uzlah atau mengasingkan diri ke hutan-hutan atau pegunungan.