Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Persaudaran dalam Keadaban, Bukan Barbarian

Diperbarui: 25 November 2021   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis Buku

Setiap warga negara Indonesia mestinya cerdas membaca dan pandai beradaptasi dengan realitas kalau hidup di di negara berdasar Pancasila ini mestilah menghadapi pluralitas. Siapapun adanya yang sudah memilih Indonesia, wajiblah menjunjung tinggi hidup berkeadaban dalam keragaman, dan bukan barbarian dalam keragaman.

Prinsip "persaudaraan dalam pluralitas dan pluralitas dalam persaudaraam" senyatanya bisa menjadi modal moral yang mampu membingkai bangunan kehidupan kemasyarakatan secara inklusif dan humanistik bilamana persaudaraan itu disejarahkan dengan dan melalui dorongan cinta.

Melalui cahaya cinta, seseorang yang jadi "penasbihnya", akan mampu menyelami ragam kesulitan atau derita orang lain, dan harmoni kehidupan sesama, pasalnya dalam dirinya muncul panggilan pengabdian  universalitas kalau dirinya bukan hanya milik dirinya sendiri, tetapi juga menjadi "milik" orang lain.

Memang, tanpa cinta, dunia akan benar-benar membeku, pasalnya kalau dalam diri kita tidak bersemai rasa cinta, berarti akan ada kebekuan sistem, stagnasi budaya, represi politik, arogansi kelompok, dan kematian relasi antar manusia yang berbasis  saling memanusiakan (memartabatkan).

Sudah banyak kita temukan berbagai bentuk petaka sosial, tragedi bangsa, praktik kekejaman atau kebiadaban baik pelakunya individual maupun kelompok, baik oleh massa maupun negara, yang mencerminkan kondisi riil "dunia sedang membeku" akibat kematian cinta di dalam dirinya.

Kalau dalam diri manusia itu dihidupkan kata "cinta", maka bangunan kehidupan bermasyarakat ini tidak akrab oleh berbagai bentuk kebiadaban dan potret empirik perilaku kebinatangan yang terjadi di negeri ini, pasalnya di dalam diri pecinta ini punya kecenderungan kuat untuk melabuhkan dirinya dalam pemihakan atau perlindungan martabat kemanusiaan.

Kasus terorisme merupakan bentuk kebiadaban manusia, yang dalam wacana publik dikategorikan sebagai kebiadaban sempurna.  Sadisme bercorak barbarianisme demikian bisa dikalahkan oleh atau model masyarakat yang dimanapun dan kemanapun atau bergaul dengan siapapun, selalu "membahasakan" cinta.

Membaca soal korban terorisme adalah membaca diri kita yang suka radikalitas. Korban terorisme dan radikalisme merupakan alasan utama yang seharusnya menguatkan keyakinan kita, bahwa bukan hanya Indonesia saja yang sudah pernah menderita akibat kebiadaban terorisme, tetapi bangsa-bangsa besar di muka bumi sudah merasakan peristiwa berdarah yang diproduk teroris. 

Kita bisa baca kasus tragedi bersejarah di Paris misalnya dengan jumlah korban tewas mencapai sedikitnya 130 merupakan contoh brutalitas teroris,dan bukan wujud perilaku keagamaan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline