Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Kegigihan Menentukan Marwah Negara

Diperbarui: 3 November 2021   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku

"Membuat sesuatu yang mudah menjadi rumit itu sudah biasa, tetapi membuat sesuatu yang rumit itu menjadi mudah itu yang disebut kreatifitas", demikian pernyataan  Charles Mingus, yang sejatinya mengingatkan setiap elemen bangsa di dunia, khususnya para pemimpinnya supaya jadi pekerja keras dan bersyahwat jadi pemenang, dan bukan sekedar bisa bermain tapi tanpa kreatifitas.

Sebagai sampel refleksi, para pelatih sepak bola secara general bukan hanya membentuk tim atau "negara"  yang dihuni oleh para pemain yang bisa bermain, tetapi membina, mengarahkan, atau mengonstruksi mental dan etos kerja para pemain, agar bisa mewujudkan cita-cita, diantaranya dengan cara mengalahkan lawan atau tantangan seberat apapun.

Lantas bagaimana dengan kita? Kita ini barangkali sudah terbiasa menjadikan hal yang mudah menjadi sulit. Pekerjaan yang semestinya ringan, akhirnya berat untuk dilaksanakan dan diselesaikan gara-gara kita membiarkannya menumpuk, menunda-nundanya, atau menganggapnya sebatas kerikil yang sekali tendang bisa beres.

Dalam realitas, kita sering gampang terjebak dalam sikap seperti: kalau yang kecil tidak akan mungkin dapat mendatangkan masalah besar atau tidak akan membuat cita-cita kita gagal. Kita gampang berujar "itu urusan kecil", padahal dari soal yang kecil ini potemsial mampu menghadirkan kesulitan  besar di belakang hari, jika terus menerus tarabaikan. Pemimpin kita pun, memang lebih sering berujar kalau negara ini besar, namun faktanya, tidak bekerja berusaha keras membuktikannya.

Sifat utama pemimpin ialah beradab dan mulia hati", demikian pernyataan Imam Al-Ghazali, yang sebenarnya mengingatkan secara moral mengenai sikap dan perilaku pejabat dalam menduduki kursi empuknya supaya tak menyepelekan atau "mengecilkan" kemaslahatan publik. Keberadaban pemimpin dalam mengelola sumberdaya negara merupakan "investasi amanat" yang dipercayakan kepadanya, yang merupakan sumber fundamental dalam membesarkan kehidupan bangsa ini.

Timbul pertanyaan lagi: sudahkah kita ini digolongkan sebagai bangsa yang pemberani dalam memunculkan ide-ide baru, menantang, dan beresiko benar atau salah? Sudahkah kita ini ditempatkan sebagai masyarakat yang selalu bergiat diri melakukan perubahan-perubahan besar, meski untuk melakukan ini harus siap dicerca, dan digolongkan sebagai tindakan tidak popular?

Faktanya, kita memang sering belum siap menjadi bangsa yang menghadirkan kemajuan dan pencerahan, sebab untuk menjadi bangsa demikian, setiap unsur masyarakat atau pelaku sejarahnya harus punya keberanian untuk memunculkan ide-ide besar, menawarkan perubahan, dan menunjukkan aktifitas yang memberikan tawaran menguntungkan bagi kemaslahatan makro.

Untuk melakukan itu semua,  dalam diri setiap unsur  bangsa atau warga masyarakat tidaklah boleh kecil nyali, apalagi sampai mengidap "kevakuman" keberanian, dalam menghidupkan dan menyalakan semangat dan aksi bertemakan perubahan. Mulai dari semangat harus dijadikan sebagai modal untuk membakar dan menggerakkan mesin dalam dirinya. Dari semangat ini kemudian dijadikan sebagai pembangkit menajamkan dan membeningkan rasio.

lemah  militansi atau krisis keberanian tidak boleh sampai  mengidap berlarut-larut bangsa ini, sebab jika tidak, maka akan sulit ditemukan sosok manusia yang siap menghadapi resiko dari apa yang diperbuatnya. Kalau sudah demikian,  tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari bangsa ini, kecuali menghabiskan sisa-sisa dari sumberdaya yang dianugerahkanNya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline