Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Memuliakan Ilmu, Ilmu Memuliakan Kita

Diperbarui: 14 September 2021   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Abdul wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku

Di dunia ini, banyak ilmuwan. Misalnya sahabat Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai salah satu sahabat muda dan intelek termasuk sosok yang sangat mencintai ilmu. Tatkala ada seseorang menginformasikan kepadanya tentang satu huruf atau angka yang belum pernah dikenalnya, Ali lantas memberinya gelar sebagai guru. "meskipun seseorang itu hanya mengajarkan satu huruf  kepadaku, maka ia telah menjadi guru dalam hidupku yang tak akan pernah kulupakan", demikian ujar Ali bin Abi Thalib.

Pernyataan yang disampaikan Ali tersebut bukan hanya ditujukan secara moral-edukatif sebagai bentuk penghormatan kepada guru atau penyampai ilmu, tetapi juga kepada ilmunya itu sendiri.

Dalam ranah itu, bisa dipahami, bahwa ilmu tidaklah terukur semata pada siapa yang menyampaikannya, tetapi pada makna keagungan ilmu itu sendiri. Ilmu bisa dikuasai dan ditransformasikan (diajarkan) kepada siapa saja, namun kedudukan ilmu tetaplah yang tertinggi. Mengapa kedudukan ilmu tetap tertinggi?

Ilmu itu akan terus mengalir, berkembang, dan dinamis seiring dengan perkembangan sejarah kehidupan manusia. Apa yang dicapai oleh manusia dalam hidupnya, sebenarnya adalah mencerminkan ilmu yang dikuasainya. Ketika yang bisa dicapai oleh manusia hanyalah kemajuan-kemajuan kecil, maka hal ini menandakan kalau ilmu yang diakses dan "diinvestasikan" dalam hidupnya juga masih sedikit atau belum ada kemajuannya.

Ilmu itu memuliakan kita, maknanya Ilmu akan memberikan warna, mengarahkan kebuntuan, membuka kran kesulitan, menunjukkan jalan terang, dan mengantarkan manusia menemui pencerahan. Masyarakat yang mencintai ilmu sama artinya dengan mencintai perubahan. 

Dari ilmu, manusia diberi jalan untuk memberantas penyakit kebodohan dan kemunduran, dan dari ilmu pula, apa yang diobsesikan manusia tentang kebermaknaan hidup akan bisa dicapainya.

Masyarakat dan bangsa yang sungguh-sungguh berperang terhadap kebodohan merupakan cermin dari masyarakat dan bangsa yang tak menginginkan dirinya terbelit secara terus menerumus dalam ketidakberdayaan. Kelemahan atau ketidakberdayaannya merupakan gambaran dari suatu masyarakat yang terpuruk dalam penjara kebodohan.

S6igma masih tertinggalnya kita di tengah kompetisi masyarakat dunia adalah indikasi kalau selama ini kita masih terbelit oleh problem krisis atau "kemiskinan" kualitas sumberdaya manusia, Rendahnya kualitas ini ditandai masih lemahnya budaya minat baca, minat meneliti, minat berkarya, dan menjalin kerjasama secara akademis dengan kekuatan strategis.

Krisis minat ilmiah membuat bangsa ini tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Jika dari minat saja sudah rendah atau gagal dibangkitkan, bagaimana mungkin suatu bangsa akan berhasil merengkuh cita-cita besarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline