oLEH : Abdul Wahid
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis Buku Hukum dan Agama
Salah satu sisi fungsinalitas yang mengisi ruang konstruksi politik hukum adalah kepentingan hak asasi manusia (HAM). Dalam kondisi apapun, masyarakat atau negaranya normal atau sedang darurat, kepentingan asasi pembentukan hukum, adalah berlatar HAM.
Politik hukum kenotariatan pun demikian, dimulai dari pengadaan hingga ke pembaruan ke pembaruan norma yuridis dalam Undang_undang Jabatan Notaris (UUJN) dan peraturan perundang-undangan lainnya adalah berkorelasi dengan HAM, baik hak notaris maupun pemohon jasa (klien), serta masyarakat pada umumnya.
Itu dapat terbaca dalam dasar pertimbangan UUJN, bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga negara (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). Kata "perlindungan hukum bagi setiap warga negara" ini jelas menunjuk pada kepentingan asasi yang terkonklusikan dalam HAM.
Jan Materson, salah satu pakar HAM PBB pernah menyebut, HAM ialah hak-hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia" atau dalam Teaching Human Rights, United Nations, P.5 disebutkan human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being.
Sayangnya, banyak pihak yang kurang atau peduli terhadap hak-hak fundamental manusia. Dalam ranah das sollen, barnagkali politik hukumnya sudah menjabarkan urgensinya perlndungan HAM, namun dalam ranah das-seinnya, kepentingan HAM terabaikan.
Misalnya dalam HAM bidang keamanan, kesehatan, dan keselamatan jiwa, sangat terasa perlindungan HAM-nya masih lemah. Nyawa anak bangsa gampang sekali jadi korban. Negeri ini seolah-olah jadi area yang subur untuk menjagal dan "menganibal" peluang hidup dan melanjutkan kehidupan warga bangsa, atau setidaknya banyak ditemukan praktik pembiaran yang membuat HAM, khususnya hak hidup dalam kerentanan.
Kita bisa baca, bahwa sebagian potret negeri ini seolah tak ubahnya iklim neo-barbarian, karena di saat kondisi masyarakat makin padat kaum cendekia, makin kaya kaum terpelajar, dan punya piranti hukum yang banyak membicarakan penegakan HAM, ternyata marak pula perilaku barbar, mendehumanisasikan atau mendestruksi hak orang atau pihak lain seperti perilaku sadisme dan radikalisme, pengabaian kepentingan asasi manusia atau pencari keadilan.
Kalau sudah begitu, tentulah logis jika mengakibatkan terjadinya stigma buruk yang melekat dalam diri negeri ini, diantaranya mendapatkan label republik yang menaktkan (republic of horror), suatu konstruksi republik yang serba menakutkan, menciptakan gamang, kerugian serius, rasa miopik, dan serba ketidakpastian dalam pergulatan interaksi antara warga dengan warga dan warga dengan negaranya.
Di republik yang menakutkan itu, rakyat terhalang untuk bisa menikmati kehidupan yang tenang, karena dimana-mana banjir terror, rawan aksi brutal, gampang mensuperioritaskan kekejian, ada banyak potensi meledakkan aksi kekerasan yang membahayakan keselamatan sesama manusia, atau sering erjadi praktik perampasan hak yang secara langsung atau tidak langsung mengaibatkan terampasnya hak keselamatan dan kehidupan orang lain. misalnya seseorang yang hak kepemilikan tanahnya dirampas atau dikuasai orang lain dengan berbagai caranya, bisa mengakibatkan pemiliknya hidup sengsara dan prustasi, ynag berujung sakit-sakitan dan meninggal dunia,