Lihat ke Halaman Asli

Abdul Wahid

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Ex Aequo Et Bono

Diperbarui: 24 April 2020   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 "Alam memberi kita satu lidah, akan tetapi memberi kita dua telinga, agar kita mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara" demikian La Rouchefoucauld mengingatkan setiap penyelenggara negara supaya mendengar dengan serius apa yang terjadi di tengah masyarakat.

Tulisan Rouchefoucauld itu mengkritik tajam kalangan penyelenggara negara, khususnya elemen peradilan yang seringkali bersikap masa bodoh terhadap sikap kritis masyarakat atau pencari keadilan yang mereaksi ketidakadilan terhadap kinerjanya, terutama terhadap putusan para hakim.

Tulisan itu secara tidak langsung meminta pada penyelenggara peradilan untuk membaca dan menyikapi apa yang terjadi di tengah masyarakat sebagai bahan pertimbangan hukum, filosofis,  dan etisnya dalam membangun kinerjanya agar ketika menjatuhkan putusan misalnya, putusan yang dijatuhkan benar-benar berkeadilan atau berlandaskan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kepastian, dan kemanusiaan.

Berpijak pada tulisan itu, terdapat beragam pertanyaan seperti masih adakah di negeri ini ex aequo et bono (putusan yang adil)? benarkah putusan yang dijatuhkan oleh hakim selama ini memang merupakan putusan yang adil? tidakkah putusan hakim hanya mencerminkan putusan yang memihak dan menguntungkan dirinya?

Pertanyaan-pertanyaan publik seperti itu muncul akibat sepak terjang sebagian hakim  yang tidak menjaga marwah diri dan lembaga yudisial dimana dirinya menjalankan profesi atau menahkodainya. Bisa jadi putusan yang dijatuhkan dalam menangani suatu perkara adalah putusan berkeadilan karena sesuai dengan alat bukti atau kebenaran yang ditemukannya, namun ketika direlasikan dengan sikap dan perilakunya, pencari keadilan berhak meragukannya.

Standar publik dalam menilai putusan hakim itu rasional, pasalnya publik sudah demikian sering dan akrab dihadapkan pada sepak terjang hakim yang melanggar norma-norma yuridis maupun etika. Pelanggaran yang dilakukan ini bisa saja dianggap oleh hakim sebagai realitas normal akibat kondisi kultur deviatif yang menghegemoninya. 

Kultur deviatif itu memang masih menjadi penyakit general yang selama ini mencengkeram dunia peradilan, termasuk elemen penyelenggaranya yang bernama hakim, sehingga ketika etika profesi yang dilanggar, ditempatkannya sebagai "pelanggaran ringan" atau bukan dosa besar. 

Bisa saja di tangan hakim nakal,  kejahatan istimewa (exstra oridinary crime)  seperti suap dan  gratifikasi yang bertajuk barter melakukan rekayasa putusan atau menguntungkan seseorang yang yang berhasil "mempengaruhinya" saja, bisa dianggap sebagai subordinasi kultural, sementara untuk kasus pelanggaran etika disikapinya sebagai peristiwa "sekedar kekhilafan".

Asumsi seperti itu jelas mereduksi esensialitas atau kesejatian etika dalam mengawal setiap pengemban profesi hakim. Etika seharusnya ditempatkan melebihi supremasi hukum atau setidaknya sejajar dalam ranah urgensinya norma, apalagi jika direlasikan dengan profesi hakim. Mengapa?

Kita yang pernah belajar ilmu hukum setidaknya memahami derajat mulianya profesi hakim, yang derajat ini melebihi derajatnya pengemban profesi hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan penasihat hukum. 

Karena tingginya derajat hakim itu, sudah seharusnya dalam menjalankan profesinya, aspek etika menjadi pengawal tertingginya. Jika etika sudah tidak digunakan sebagai pondasi dan sekaligus rule of game dalam setiap sikap dan perilakunya, maka keadilan bisa dipastikan bukan hanya redup, tapi juga mengalami kematiannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline