Lihat ke Halaman Asli

Terlambat

Diperbarui: 20 Mei 2024   11:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TERLAMBAT

ABDUL WAHAB, S.Pd,MM*

 

Namaku Ahmad, suratan takdir telah menghatarkan hari-hariku mengisi aneka cerita di ruang yang cukup lebar seukuran 8 x 9 m ini. Sebuah  ruang sederhana tetapi teramat mewah suwasananya, riuh gemuruh canda, tawa, kreasi, dan diskusi, terpadu menyatu menjadi diksi-diksi yang penuh arti. Ruang persegi yang cat temboknya mulai kusam, dan mengelupas, berhias porto folio, serta tugas-tugas, terangkai bagai mozaik seni yang artistik nan nyentrik.  diruang ini lah aku mewarnai sebagian waktuku untuk mewariskan cahaya pelita yang ditipkan Tuhan kepadaku, untuk anak-anak ideologisku. Di ruangan ini pula aku bereskplorasi dan berkreasi, serta bereksperimen membongkar pasang aneka strategi dan model pembelajaran yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, tepatnya tuntutan kurikulum yang digariskan pemerintah yang silih berganti, mengikuti kebijakan kata hati sang menteri.

Di tempat ini pula aku berusaha mengubur rapat-rapat, sembari menghibur dalam kelam, peristiwa pupusnya kisah percintaan muda mudi yang kandas karena dihantui bayang-bayang materi.

***

Adalah ibu guru Astuti, putri tunggal bapak Haji Jumadi saudagar tanah dikampung ini. Bunga desa yang elok rupawan, lagi bagus budi pekerti, laki-laki mana yang tidak akan dibuat terkesima dan jatuh hati padanya. Dengan  keelokan  paras ayunya, serta segudang materi yang dimiliki orang tuanya. Namun entah mengapa perhatiaanya seolah selalu tertuju padaku, menyiratkan harapan padaku untuk mempersuntingnya, dan menjadikan dia sebagai pendamping hidupku.

 

Berawal dari patner kerja di sekolah tempatku mengajar, ia sering mendiskusikan hal yang berkaitan dengan hambatan kegiatan pembelajaran yang kerap dialami, mulai dari hasil ulangan yang tidak sesuai harapan, penerapan model dan strategi pembelajaran yang belum matching, sampai dengan masalah yang berkaitan dengan akhlak siswa yang mulai tergerus oleh perkembangan zaman. Diskusi demi diskusi dilalui mengalir, cair, penuh keakraban tanpa hambatan dan berbuah solusi yang mencerahkan.

Kedaan  inilah yang bisa jadi membuatnya terkesima padaku, dan sebaliknya akupun diam-diam mulai terposana padanya, gadis cerdas yang tak berhenti untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Hubunganku dengan Astuti  kian hari kian dekat, selain diskusi bareng, kita juga sering jalan bareng mengantarnya pulang selepas mengajar, dengan bermodal sepeda motor tua peninggalan bapak. Menyusuri lika-liku jalan di sepanjang pingiran aliran sungai, melewati pematang sawah yang luas terhampar, dan rindangnya perkebunan warga, kadang ia juga menemaniku mengajari anak-anak mengaji di mushola samping rumah, selepas ashar.

Keadaan yang tak biasa  ini tentunya, membuat teman-teman seprofesiku terus berusaha untuk menjodoh-jodohkan aku dengan dia. Dikala  waktu senggang saat jam istirahat, kami biasa berkumpul dan bercengkrama di ruang guru. Saat  itulah waktu yang asyik untuk berbagi cerita, tawa, dan canda.  Sesekali mengulik isi hati kita berdua. Tentunya  saat salah satu dari kita,  tidak ada jam mengajar disekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline