"Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya." (Surat Kartini kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901).
Penyataan diatas merupakan satu surat dari seratus lebih surat yang terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul Door Duistemis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) buah goresan pena Raden Adjeng Kartini untuk sahabat-sahabat penanya di negeri Belanda antara lain Estella H Zeehandelaar, Nyonya Ovink-Soer, Nyonya RM Abendanon-Mandri, Tuan Prof Dr GK Anton dan Nyonya, Hilda G de Booij, dan Nyonya van Kool. sepucuk surat renungan tentang dan untuk bangsanya yang berisi curahan hati akan kentalnya budaya patriarki atau budaya yang menganggap bahwa kaum pria lebih superior dibanding kaum perempuan dizamannya.
Suatu zaman dimana perempuan di negeri ini belum memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria, dan terkukung oleh aturan adat, sehingga predikat Secondary human after man (manusia yang menduduki urutan kedua setelah laki-laki) bagi kaum wanita waktu itu sangat melekat. Bahkan, ada ungkapan yang menyatakan peran kaum perempuan seperti adagium jawa: yen awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek (kalau siang jadi sandal, kalau malam jadi selimut), tentunya adagium itu benar-benar menggambarkan tidak beruntungnya nasib perempuan di masalalu, tidak hanya di pulau jawa tetapi juga diseluruh wilayah Indonesia yang menganut paham patrilinear.
Bahkan penggambaran sosok perempuan dalam Serat Centhini sebagai pakem aturan masyarakat jawa, menggambarkan peran kaum perempuan tak lebih sekadar kanca wingking yang harus manut, taat, sendika dhawuh, dan rela diperlakukan sesuai kehendak suami; disebutkan bahwa sosok perempuan (istri) ideal ibarat lima jari tangan. Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami. Ibarat telunjuk, istri harus menuruti segala perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus mengunggulkan suami bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis. Ibarat jejenthik, istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan terampil melayani suami.
"Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan. Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal di sana sesak juga rasanya." surat Kartini kepada Nn Zeehandelaar 6 November 1899.
Keadaan seperti inilah yang membuat sosok kartini berontak dan berupaya mengubah garis nasib perempuan tanpa mengubah kodratnya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya, agar perempuan tidak selalu menjadi sosok yang bodoh, lemah, dan tertindas, karena sudah digariskan oleh aturan adat yang membelenggu. dan belengu itu dapat dilepasakan dengan cara mengedukasi (mendidik) kaum perempuan.
Kartini merupakan gambaran perempuan yang memiliki kepedulian social yang tinggi akan nasib kaumnya dengan mengusahakan keseimbangan peran sosial budaya antara laki-laki dengan perempuan. Hal tersebut terbukti dalam salah satu lembaran suratnya yang meminta pemerintah Hindia Belanda melalui istri interniran Belanda yang paham betul akan nasib kaum hawa di indonesia saat itu, beliau meminta kepada pemerintah kerajaan Belanda memperhatikan nasib pribumi dengan menyelenggarakan pendidikan, terutama pendidikan bagi kaum perempuan di Indonesia. Hal ini karena kaum Perempuan adalah orang pertama yang membentuk budi pekerti anak. Berulang- ulang kali Kartini menyebutkan, perempuan adalah istri dan pendidik anak- anak yang pertama. Seperti yang ia tuangkan dalam suratnya
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. "(Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Sebagi wujud kepedulianya kepada kaum Hawa akan pentingnya pendidikan, Kartini mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya Jepara tanpa memperhatikan kelas social yang disandangnya, berbekal dari kesempatan langka yang ia peroleh sebagai "hadiah" terlahir dari golongan priyayi, yakni sebagai putri Bupati Jepara dalam mengenyam manisnya dunia pendidikan bersama dengan anak priyayi lainnya dan none-none pemerintah Kolonial belanda yang kelak menjadi sahabat penanya. Disekolah tersebut kartini mengajarkan ketrampilan dasar kewanitaan seperti, pelajaran menjahit, menyulam, memasak dan sebagainya. Semua itu diajarkan dengan cuma-cuma.
Untuk memperluas wawasan dunia pengajaran yang akan ia tularkan pada kaumnya, Kartini berencana mengikuti sekolah guru di Negeri Belanda, "Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih." Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900. jalan yang ia impikan pun terbuka lebar setelah ia mendapatkan beasiswa pendidikan dari pemerintah kerajaan Belanda. Namun kenyataan berkata lain, Upayanya ditentang oleh orangtuanya dan ia dinikahkan dengan seorang duda beranak banyak. Meskipun demikian ia beruntung suaminya tidak mengekang aktifitasnya memperjuangkan pendidikan dan pengajaran agar perempuan dapat lebih cakap dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang ibu disamping memuliakan harkat,derajat, dan martabat kaum wanita dari budaya patriarkhi, tentunya dengan tidak meninggalkan kodrat kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia pun diberi kebebasan berbagi wawasan pengetahuan dengan mengkorespondensi teman-temannya yang sudah kembali kedaerah asalnya (Belanda).
Konsentrasi kartini dalam mengupayakan pendidikan untuk kaumnya tidak pernah redup hingga ajal menjemputnya diusia yang relative muda, 25 Tahun. Atas jasanya Presiden Soekarno mengeluarkan surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964. Lewat surat itu, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan sekaligus menetapkan hari lahirnya, yaitu tanggal 21 April, diperingati sebagai hari kartini.