Sabtu sore itu Pak Slamet bersepeda keliling komplek perumahan menikmati udara sejuk di kawasan yang cukup asri karena cukup banyak pohon besar yang tumbuh di sepanjang jalan utama. Ketika melewati rumah Pak Dul, dilihatnya si empunya rumah sedang duduk santai di teras rumah sambil membaca buku. Disapanya Pak Dul dengan semangat.
“Assalamu alaikum.”
“Wa alaikumussalam wa rahmatullah,” jawab Pak Dul dengan sumringah sambil berdiri dari duduknya. Mengetahui siapa yang lewat, Pak Dul segera berjalan ke arah pintu pagar.
“O, Pak Slamet. Mampir, Pak.”
“Tidak ngganggu nih?
“Jelas tidak dong. Ayo masuk,” ajaknya. Keduanya memang sudah sangat akrab karena sama-sama penghuni lama di komplek itu. Pak Dul pun mempersilakan tamunya duduk di kursi satunya lagi yang ada di teras rumah itu.
“Sedang baca buku apa Pak Dul sampai asyik bener?” Tanya Pak Slamet sambil melirik ke arah buku yang masih ada di tangan kiri Pak Dul.
“Oh, ini buku tajwid. Sekadar mengulang dan mengingat kembali apa yang pernah diajarkan Pak Kyai. Biar kalau baca Al-Qur’an tidak salah makhraj, panjang pendek, dan sebagainya.”
“Terus terang nih Pak Dul .... tapi jangan cerita ke siapa-siapa ya. Saya ini masih minder kalau ngaji bareng bapak-bapak lain di masjid. Mereka sudah pada lancar dan fasih. Saya masih grotal-gratul, terbata-bata.”
“Lho kenapa mesti malu atau minder? Mereka yang sudah lancar itu kan sudah lama belajarnya. Kalau Pak Slamet rajin dan sungguh-sungguh pasti juga bisa seperti mereka. Jadi gak perlu malu. Pak Slamet hanya butuh kesabaran dalam belajar.”
“Tapi kan tetap beda, Pak.”