Lihat ke Halaman Asli

abdul mukti

dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Karolin telah Membuktikan, yang Lain Baru Mewacanakan

Diperbarui: 19 September 2024   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi pribadi

Di mana mana, calon kepala daerah petahana (incumbent) memiliki "bukti"  kekuatan sekaligus kelemahannya.  Keduanya bertumpu pada bukti. Dan bukti itu telah disaksikan langsung oleh masyarakat, apakah bukti yang menunjuk pada kekuatannya atau kelemahannya. Bagi mereka yang bukti kelebihan dan kebermanfaatannya lebih menonjol relatif akan lebih mudah untuk mengomunikasikannya kepada calon pemilih. Narasi yang akan dibangun biasanya hanya untuk melanjutkan dan menuntaskan pembangunan yang belum selesai karena dibatasi oleh periode kepemimpinan sesuai dengan undang-undang. Sebaliknya, mereka yang dalam kepemimpinan masa sebelumnya memiliki sejumlah kelemahan dan catatan buruk harus bekerja lebih keras lagi untuk meyakinkan kembali para calon pemilih di periode keduanya. Kondisi ini biasanya mudah dimanfaatkan oleh pendatang baru dengan memanfaatkan kelemahan incumbent.

Sebaliknya, bagi calon kepala daerah penantang atau pendatang baru, mereka hanya memiliki modal "baru akan" memulai. Memang, kelemahannya belum tampak. Tetapi bukti kekuatan dan kelebihannya belum bisa dibuktikan. Calon pemilih hanya bisa  mendeteksi rekam jejak sebelumnya di banyak lapangan aktivitasnya, baik di lembaga pemerintah, partai politik, lembaga keormasan, lembaga profesi dan peran serta, kontribusi, dan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.

Bagaimana dengan Karolin?

Calon bupati incumbent Kabupaten Landak Kalbar yang bernama lengkap dr. Karolin Margret Natasa, M.H. (KMN), dalam konteks Pilkada 2024-2029 mau tidak mau harus diletakkan dalam kerangka "logika petahana" untuk mengukur terutama tingkat elektabilitasnya dan prediksi hasil pilkada 2024. Karena itu, fakta-fakta keberhasilan selama memimpin Landak (2017-2022) harus menjadi perhatian publik sebagai bahan pertimbangan. Dalam politik demokratik, pertimbangan rasional untuk memilih calon kepala daerah menjadi indikator yang utama dan lumrah. Dalam ungkapan publik yang populer, "jangan membeli kucing dalam karung'. Dengan metode itu, semua elemen pemilu demokratik seperti partai, penyelenggara pemilu, peserta pemilu, dan masyarakat pemilih berada dalam semangat yang sama yaitu berpemilu dengan prinsip jujur, adik, dan berintegritas.

Lantas, bagaimana memotret KMN dari sudut keberhasilannya selama memimpin Kabupaten Landak (2017-2022)? Fakta-fakta berikut dapat menjadi bahan informasi:

  • Ada tiga budaya Landak diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB)
  • Terjadi peningkatan penerimaan pajakn dan retribusi
  • Jumlah Desa Mandiri meningkat pesat
  • Jumlah desa tertinggal turun dan desa meningkat
  • Perusahaan Sawit di Landak wajib alokasikan 30 persen untuk lahan petani
  • Kabupaten Landak sebagai lumbung padi provinsi Kalbar
  • Peningkatan rumah layak huni
  • Peningkatan daerah irigasi dengan kondisi baik
  • Peningkatan produksi perkebunan
  • Akreditasi paripurna di RSUD
  • Kabupaten Landak sebagai lahan subur investor
  • Bertambahnya peserta Jaminan Kesehatan Nasional
  • Meningkatnya kontribusi sektor pertanian
  • Peraih peringkat ke-4 dari 416 kabupaten  se-Indonesia dalam tingkat kepatuhan

Bukti-bukti keberhasilan ini dapat dilihat dan diuji dari kemampuan leadership seorang KMN dalam mengorkrestasi manajemen pemerintahan yang baik. Tentu banyak yang tidak sempurna. Maka, narasi 'melanjutkan" dan "menyempurnakan"  bagi calon incumbent menjadi relevan. Bagi masyarakat yang melek dan kritis dengan hasil hasil pembangunan, memilih kembali KMN menjadi pilihan yang rasional. Lantas, mungkinkah KMN tidak terpilih kembali? Dalam politik "tidak ada yang tidak mungkin' terutama jika penantangnya memiliki keunggulan yang lebih. Namun demikian, dalam konteks persaingan yang hanya dua pasang, warna "hitam-putih" menjadi tampak jelas. Juga, dalam politik, seringkali muncul variabel yang "tidak rasional" seperti penggunaan dan pemanfaatan kekuasaan dan "politiik uang" dalam pengertian yang berlebihan. Dalam kerangka ini, politik seharusnya tetap berdiri di atas nilai-nilai luhur demokrasi yang telah menjadi komtemen bersama sebagai bangsa dan negara. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline