Sebagai generasi 80-an, saya termasuk penikmat lagu-lagu Didi Kempot. Setiap menjelang tidur, mendengarkan lagu Didi Kempot melalui radio Sony ukuran kecil sangat menenangkan. Sebagai mahasiswa pada akhir 90-an dari sebuah desa di Bojonegoro yang kos di Kota Surabaya, lagu Didi Kempot menjadi obat kangen.
Sampai sekarang, lagu-lagu Didi Kempot menjadi cermin bagi suasana hati. Didi Kempot dan lagu Campursari, yang selama ini dikenal sebagai lagu kampungan dan pengisi hajatan, menjelma menjadi kekuatan dahsyat. Konser Didi Kempot di Taman Balekambang Solo pada 9 Juni 2019 viral. Mulai saat itu generasi milenial jatuh cinta kepadanya. Julukan Godfather of Broken Heart pun disandangnya. Panggilan Lord Didi juga menjadi bukti, Didi Kempot mendapatkan posisi yang spesial di hati penggemar mudanya.
Didi Kempot telah berhasil memberikan kekuatan pada musikalitas yang dibawakannya. Lagu Campursari dari yang sebelumnya hanya dipandang sebagai lagu kaum tua bertransformasi menjadi lagu yang sangat disukai kaum milenial. Lagu berbahasa Jawa yang dibawakannya mampu menghipnotis kaum muda yang identik dengan budaya K-Pop.
Lord Didi telah melampaui perjalanan yang menggambarkan betapa hidupnya penuh dengan perjuangan. Hidup merantau, mengamen, tidur di emperan, makan ngutang di warung, kos di kamar dekat kuburan, meniti karier di panggung hajatan, konser di panggung yang besar dan sampai di mancanegara. Didi Kempot layak mendapat pengakuan sebagai duta budaya.
Mendengar lagu Didi Kempot, anak-anak muda yang lagi galau karena asmara akan merayakan kesedihannya ketika mendengarkan lagu Didi Kempot. Lagu-lagunya yang mayoritas bertema patah hati tidak membuat yang mendengar terpuruk. Justru sebaliknya. Lagunya memberikan energi dan kekuatan dahsyat. Setiap konser hampir dipenuhi oleh kaum muda. Lagu-lagunya memberikan pesan bahwa kehidupan harus tetap dijalani dengan senang dan gembira. Patah Hati, di Jogeti ae.
Lagu Ojo Mudik, yang dirilis 28 April 2020 melalui akun Youtube Didi Kempot, menjadi lagu terakhir yang dibawakannya. Di masa Pandemi Covid-19, sebagai bentuk kepeduliannya, dia melakukan konser amal untuk korban terdampak pandemi bersama Kompas TV. Kekuatan fansnya menghasilkan dana sekitar 7,6 miliar.
Sebagai seorang legend, kehidupan sang maestro dikenal masih sederhana. Humble. Dia berhubungan dengan siapa saja. Cedek tanpo wates (dekat tanpa batas).
Wektu ono watese. Waktu ada batasnya. Jadi memang benar, seperti lagumu hidup itu hanya mampir ngombe (mampir minum). Dalam lagu itu kau berpesan lakukan hal terbaik dalam kehidupan. Batas itu menjemputmu ketika kau berada pada puncak kasmaran. Engkau sudah selesai mampir untuk meneruskan perjalanan abadimu.
Kami Sobat Ambyar, Sad Boys, Sad Girls, akan selalu kangen dengan lagumu. Lagu-lagumu akan selalu menemani dan menguatkan kami. Selamat jalan Lord Didi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H