Lihat ke Halaman Asli

Abdul Mutolib

Universitas Insan Cita Indonesia

Kecanduan Gawai, Media Sosial dan "Brain Rot" pada Generasi Muda: Tinjauan Perspektif Neuropsikologis

Diperbarui: 22 Januari 2025   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Kecanduan Gawai dan Media Sosial dari Aspek Neuropsikologis (Sumber: https://chatgpt.com/share/679047dc-f960-8006-be07-61810edbfbed) 

Era digital telah merevolusi interaksi, komunikasi, dan konsumsi informasi manusia. Namun, keberadaan gawai dan media sosial di telah memperkenalkan tantangan baru, terutama terkait dampaknya pada fungsi dan perilaku otak. Kecanduan gawai dan media sosial, yang ditandai dengan penggunaan kompulsif dan kesulitan dalam melepaskan diri pada gawai dan media sosial.  Kecanduan, baik terhadap zat maupun perilaku, melibatkan interaksi kompleks antara sistem penghargaan otak (the brain's reward system) dan mekanisme kontrol penghambatan.  Fenomena kecanduan gawai dan media sosial (Facebook, Instagram, Tiktok, dan lainnya) menyoroti dua aspek interaksi yaitu sistem penghargaan otak yang melibatkan Nucleus Accumbens (NAc) dan Amigdala yang berperan dalam memproses pengalaman menyenangkan, motivasi  dan terlibat dalam pengolahan emosi dan korteks prefrontal, yang mengatur pengendalian diri dan pengambilan keputusan serta Gangguan Kontrol Penghambatan  (He,  Turel dan Bechara, 2017).

Gejala gangguan neuropsikologis pada aspek Aktivasi Sistem Penghargaan berkaitan dengan sirkuit penghargaan otak. Nucleus accumbens diaktifkan oleh rangsangan seperti memberikan like (suka) dan berkomentar terhadap suatu konten yang mendorong respon kompulsif otak. Respon ini merupakan cerminan kecanduan pada gawai dan media sosial. Selanjutnya gejala gangguan neruropsikologi akibat kecanduan gawai dan media sosial terjadi pada Gangguan Kontrol Penghambatan. Gangguan ini menyebabkan Korteks prefrontal, yang bertanggung jawab atas kontrol impuls dan fungsi eksekutif memgalami penurunan aktivitas pada individu dengan kecanduan digital. Gangguan ini berkontribusi pada perilaku kompulsif dan kesulitan dalam mengatur waktu layar.

Neuroimaging tentang Kecanduan Digital pada Generasi Muda
Neuroimaging merupakan cabang ilmu pencitraan medis yang mempelajari otak, baik untuk mendiagnosis penyakit, menilai kesehatan otak, maupun mempelajari cara kerja otak. Studi neuroimaging telah memberikan wawasan penting tentang perubahan struktural dan fungsional yang terkait dengan kecanduan gawai dan media sosial (Yen, Lin & Chiang, 2023).   Penggunaan  gawai dan media sosial yang menimbulkan kecanduan menyebabkan dampak negatif meliputi:
1. Perubahan Struktural: Penggunaan gawai yang berlebihan telah dikaitkan dengan pengurangan volume materi abu-abu dan perubahan ketebalan kortikal di daerah seperti korteks prefrontal dan amigdala (Ding, Shen, Liu & Li, 2024).  Perubahan ini terkait dengan defisit kognitif, termasuk gangguan perhatian dan memori.
2. Konektivitas Fungsional: Gangguan konektivitas otak, terutama antara amigdala dan korteks prefrontal dorsolateral / The dorsolateral prefrontal cortex (DL-PFC) yang merupakan pusat kontrol eksekutif yang meliputi memori kerja, kontrol kognisi, pembuat Keputusan dan perencanaan, perhatian, fokus dan abstract reasoning, telah diamati pada individu dengan kecanduan internet. Gangguan ini mengganggu regulasi emosi dan pengambilan Keputusan  (Cheng, dan Liu, 2020).
3. Perkembangan Otak Remaja: Remaja sangat rentan terhadap efek media sosial. Studi tentang  Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) mengungkapkan bahwa seringnya penggunaan media sosial mengubah sensitivitas saraf terhadap umpan balik sosial dan memengaruhi daerah otak yang terlibat dalam antisipasi penghargaan sosial (Young, 1998).

Young (1998) mengklasifikasikan kecanduan teknologi sebagai salah satu bentuk gangguan kecanduan internet / Internet Addiction Disorder (IAD), yang dicirikan oleh perilaku kompulsif, hilangnya kontrol diri dalam penggunaan teknologi, serta konsekuensi negatif yang signifikan terhadap kehidupan sosial, profesional, dan akademik individu.

Kecanduan Gawai dan Media Sosial: Dampak Kognitif, Emosional, dan Perilaku
Efek neuropsikologis kecanduan gawai dan media sosial melampaui perubahan struktural dan fungsional, memengaruhi proses kognitif, emosional, dan perilaku (Liza et al., 2023). Terdapat 3 (tiga) dampak dari kecanduan  gawai dan media sosial yang meliputi aspek kognitif, disregulasi emosional dan perilaku.
1. Gangguan Kognitif: Waktu layar yang berlebihan dikaitkan dengan defisit perhatian, gangguan memori, dan penurunan fungsi eksekutif. Efek ini sangat terasa pada anak-anak dan remaja, yang otaknya masih berkembang.
2. Disregulasi Emosional: Interaksi media sosial dapat memicu respons emosional yang kuat, seperti perasaan terkucil atau diterima. Pengalaman ini dapat memperburuk kecemasan, depresi, dan stres, terutama pada individu yang bergantung pada validasi sosial melalui platform digital.
3. Kecanduan Perilaku: Kecanduan gawai dan media sosial memiliki karakteristik yang sama dengan kecanduan perilaku, termasuk penggunaan kompulsif, preokupasi, dan gangguan fungsional. Perilaku ini diperkuat oleh sistem penghargaan otak, menciptakan siklus ketergantungan. Kecanduan penggunaan gawai juga berhubungan langsung dengan kebiasaan tidur yang buruk, stres, dan aktivitas fisik, dan secara tidak langsung dengan obesitas pada remaja.

"Brain Rot" dalam Kecanduan Digital: Gejala dan Dampak
Brain Rot adalah istilah yang menggambarkan penurunan fungsi kognitif dan kesehatan mental akibat paparan berlebihan terhadap konten digital yang tidak bermanfaat. Istilah ini mencerminkan fenomena yang semakin umum di era digital, di mana individu mengalami kesulitan dalam memproses informasi, berkurangnya kreativitas, dan penurunan kemampuan berpikir kritis akibat konsumsi konten berkualitas rendah (Ozpence, 2024). Beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap Brain Rot meliputi: 1) Konsumsi Media Berlebihan: Penggunaan media sosial secara kompulsif, menonton televisi atau video streaming tanpa henti, dan bermain video game dalam waktu lama dapat membanjiri otak dengan informasi yang sering kali tidak relevan atau negative, 2) Pola Pikir Negatif dan Stres Kronis: Pikiran negatif yang terus-menerus dan stres dapat membuat otak "lelah" sehingga mengurangi efektivitas dalam memproses informasi, 3) Ketergantungan pada Teknologi: Ketergantungan berlebihan pada perangkat digital dapat mengurangi kemampuan untuk fokus dan berpikir mandiri. Perasaan cemas ketika tidak terhubung dengan internet juga menjadi tanda ketergantungan ini, dan 4) Kurangnya Stimulasi Mental Positif: Ketika individu tidak cukup terlibat dalam aktivitas yang menantang secara mental, seperti membaca atau belajar keterampilan baru, kemampuan kognitif mereka dapat menurun.

Gejala Brain Rot yang terjadi pada individu dapat dikenali melalui beberapa tanda berikut:
1. Penurunan Kemampuan Kognitif: Kesulitan berkonsentrasi, penurunan daya ingat, dan kesulitan dalam memproses informasi baru.
2. Penurunan Produktivitas: Kesulitan menyelesaikan tugas tepat waktu dan meningkatnya prokrastinasi.
3. Perasaan Lesu dan Tidak Termotivasi: Kurangnya energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan kesulitan menemukan kegembiraan dalam hobi.
4. Gangguan Tidur dan Perubahan Suasana Hati: Kualitas tidur yang buruk dan perubahan suasana hati yang cepat

Brain Rot harus ditangani secara tepat karena dapat memberikan dampak negatif yang signifikan pada kesehatan mental individu. Beberapa dampak yang dapat ditimbulkan akibat Brain Rot meliputi:
1. Depresi dan Kecemasan: Paparan terus-menerus terhadap konten negatif di media sosial dapat meningkatkan risiko depresi dan kecemasan, serta memperdalam perasaan isolasi,
2. Penurunan Kualitas Hidup: Individu dengan Brain Rot mungkin mengalami berkurangnya kepuasan dalam pekerjaan atau studi serta kesulitan mengelola stres sehari-hari.
3. Hubungan Sosial yang Terganggu: Kemampuan untuk membangun hubungan sosial yang sehat dapat terpengaruh oleh kurangnya keterampilan komunikasi tatap muka dan ketergantungan pada interaksi online. 

Konsekuensi Jangka Panjang Penggunaan Digital Berlebihan
Konsekuensi neuropsikologis jangka panjang kecanduan gawai dan media sosial sangat besar, terutama bagi otak yang sedang berkembang. Penggunaan berlebihan yang terus-menerus dapat menyebabkan perubahan struktural pada otak, seperti pengurangan volume materi abu-abu, dan gangguan fungsional pada perhatian, memori, dan fungsi eksekutif.  Selain itu, waktu layar yang berlebihan dapat menghambat perkembangan kecerdasan sosial dan emosional, karena interaksi tatap muka digantikan oleh komunikasi digital.  Mengatasi kecanduan gawai dan media sosial membutuhkan pendekatan multifaset yang menggabungkan prinsip-prinsip neuropsikologis. Intervensi yang efektif meliputi:
1. Cognitive Behaviour Therapy (CBT): CBT atau terapi perilaku kognitif telah terbukti memperbaiki gejala kecemasan dan depresi yang terkait dengan kecanduan digital dengan mengubah pola pikir dan perilaku maladaptif.
2. Intervensi Berbasis Latihan: Aktivitas fisik meningkatkan faktor neurotropik dan mengatur sistem saraf otonom, mengurangi dorongan penghargaan yang terkait dengan kecanduan.
3. Intervensi Digital: Aplikasi dan alat realitas virtual (virtual reality/VR) dapat membantu pengguna mengelola waktu layar dan mengembangkan kebiasaan digital yang lebih sehat sehingga individu mengelola penggunaan teknologi mereka dan mengembangkan kebiasaan digital yang lebih sehat.
4. Intervensi Berbasis Keluarga: Memperkuat hubungan keluarga dapat memberikan lingkungan yang mendukung pemulihan, mengatasi masalah relasional yang berkontribusi pada kecanduan.
5. Pendekatan Farmakologis: Obat-obatan seperti bupropion dan atomoxetine dapat digunakan untuk mengobati kondisi komorbid, seperti depresi dan ADHD, pada individu dengan kecanduan internet.

Kecanduan gawai dan media sosial khususnya pada generasi muda merupakan tantangan signifikan di era digital. Generasi Z dan Alpha yang telah mengenal gawai dan media sosial sejak dini menyebabkan interaksi yang begitu erat. Oleh karenanya banyak generasi muda yang tidak dapat hidup tanpa gawai dan media sosial. Relasi antara generasi muda dengan gawai dan media sosial yang begitu erat pada akhirnya menciptakan  ketergantungan dan kecanduan terhadap awai dan media sosial.  Pada kehidupan nyata, saat ini banyak  individu dari generasi muda yang  lebih memilih membatasi interaksi dengan orang lain dan memilih menggunakan gawai dan media sosial sebagai media komunikasi dan interaksi.  Generasi muda menilai bahwa relasi sosial secara nyata tidak lebih menarik dibandingkan relasi dan interaksi sosial melalu gawai dan media sosial.  Dalam jangka panjang, hal ini dapat menimbulkan kerusakan pada otak dan juga hilangnya kemampuan interaksi dan adaptasi sosial pada masing-masing individu. Oleh karenanya, perlu kerjasama dari multipihak untuk mengatasi kecanduan gawai dan media sosial yang semakin masif di generasi muda.  Berbagai Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap gawai dan media sosial diantaranya dengan melakukan rekayasa sosial untuk mendorong individu agar  berinteraksi dengan individu lainnya dibandingkan hanya menggunakan gawai dan media sosial sebagai satu-satunya media komunikasi dan interkasi. Selain itu penting untuk membangun penelitian (research) dan kebijakan yang berkelanjutan (sustainable policy) untuk mempromosikan kebiasaan digital yang lebih sehat dan menjaga kesehatan otak bagi individu khususnya generasi muda.

Sumber Rujukan
1. Cheng, H., Liu, J. (2020). Alterations in Amygdala Connectivity in Internet Addiction Disorder. Scientific Reports, 10, 2370
2. Ding, K., Shen, Y., Liu, Q., & Li, H. (2024). The Effects of Digital Addiction on Brain Function and Structure of Children and Adolescents: A Scoping Review. Healthcare, 12(1), 15.
3. He, Q., Turel, O., & Bechara, A. (2017). Brain anatomy alterations associated with Social Networking Site (SNS) addiction. Scientific reports, 7, 45064.
4. Liza, M. M., Iktidar, M. A., Roy, S., Jallow, M., Chowdhury, S., Tabassum, M. N., & Mahmud, T. (2023). Gadget addiction among school-going children and its association to cognitive function: a cross-sectional survey from Bangladesh. BMJ paediatrics open, 7(1), e001759.
5. Ozpence, A.I. (2024). Brain Rot: Overconsumption of Online Content (An Essay On The Publicness Social Media).  Journal of Business Innovation and Governance, 7(2); 48-60
6. Yen, C., Lin, C. L., & Chiang, M. C. (2023). Exploring the Frontiers of Neuroimaging: A Review of Recent Advances in Understanding Brain Functioning and Disorders. Life (Basel, Switzerland), 13(7), 1472.
7. Young, K. S. (1998). Internet Addiction: The Emergence of a New Clinical Disorder. CyberPsychology & Behavior, 1(3), 237-244.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline