Amarah telah Usai
Masalah menjadi runyam ketika aku mencoba menenangkannya.
Alih-alih dapat berdamai kembali, jutru emosinya semakin memuncak.
Tatapan Sinta kepadaku begitu tajam bagaikan macan yang hendak menerka mangsanya.
Nasehat yang nyaris aku lontarkan sudah sampai tenggorokan, kembali kutelan dalam-dalam.
Ini bukan saat yang tepat untuk menasehati.
Aku memutar otak untuk mencari celah apa yang harus aku lakukan.
Hampir tiga puluh menit kami hening tanpa suara.
Akhirnya tanganku terpanggil untuk membelai rambutnya.
Ketika tanganku hendak mendarat di atas ramputnya, ia menepis dengan tangan kirinya.
Sinta memang gadis yang kolot, angkuh, dan besar kepala.
Sontak aku menarik tanganku, kembali memainkan kuku dengan tangan kiriku.
Terdengar ia menghela nafas dengan panjang.
"Aku harus bagaimana?"
Suara yang aku nanti tiga puluh menit yang lalu akhirnya terdengar.
Aku keluarkan semua nasehat yang sempat tertelan tadi.
Walaupun tanpa jawaban, sepertinya Sinta paham apa yang aku maksud.
Puisi Sebelumnya: Gelora Nafsu di Pinggir Geladak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H