Saya, dan mungkin anda semua sudah mulai lupa dengan istilah "Revolusi Mental" yang dulu digaungkan oleh Presiden kita tercinta Joko Widodo. Parameternya sampai mana, dan evaluasinya seperti apa saja kita semua tidak tahu.
Kemudian saya coba cek apa itu Revolusi Mental versi pemerintah, ternyata begini, Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk mengembangkan manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Waduh, terlalu banyak majas metafora membuat saya malah bingung sendiri apa yang dimaksud.
Baiklah, yang lalu biarlah berlalu, saya juga tidak mau berkomentar lebih tentang hal itu. Tapi kalau kita membicarakan Revolusi Mental, maka kita juga harus menyinggung "Gerakan Literasi", karena untuk mencapai perubahan tentu tidak bisa instan, perlu proses, salah satunya adalah "Literasi".
Di Indonesia, penggiat gerakan literasi ini cukup banyak, mulai dari para aktivis, komunitas, organisasi, hingga tokoh publik yang sering nongol di ILC. Wajar saja, karena minat baca Indonesia tergolong rendah, yaitu 0,001%, artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin baca. Itu menurut survey dari UNESCO. Tepatnya, malas baca tapi suka nyinyir, yaitulah rakyat Indonesia.
Semua orang mencari solusi, namun sedikit yang cari penyebab. Padahal kalau ditelisik lebih dalam, bukan tanpa sebab masyarakat Indonesia memiliki budaya literasi yang rendah.
Literasi ini jangan diartikan sempit hanya sebatas membaca, namun juga menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah. Bahkan dalam arti luas, segala transaksi ide itu adalah literasi. Karena literasi ini tergolong suatu proses, maka dampaknya besar. Bisa menciptakan perubahan, apalagi cuma "revolusi mental", sangat dapat dicapai dengan literasi.
Lalu mengapa budaya literasi di Indonesia masih rendah? Menurut saya, hal itu karena tidak cocok dengan kultur Indonesia. Literasi, termasuk juga transaksi ide sangat berpotensi melatih ketajaman berpikir, yang dapat merespon sesuatu dengan piikiran kritis critical thinking.
Namun jika anda masih hidup di Indonesia, kemampuan tersebut terbilang sia-sia, karena kita semua tahu bahwa pemerintah kita tidak mau dikritik (walaupun Jokowi minta masyarakat untuk mengkritik lebih pedas) yang ada malah anda akan diborgol. Menjadi sebuah kontradiksi ketika pemerintah ingin revolusi mental, ingin meningkatkan budaya literasi, namun pemerintah sendiri tidak mau menerima hasil dari kedua proses itu (anti nalar kritis dari rakyat)
Maka jangan salahkan ketika ada masyarakat yang bilang "buat apa saya rajin baca dan giat literasi, kalau pikiran dan gagasan saya juga akan ditolak, kalau kritik saya juga akan dibungkam. Sia-sia". Makanya sebelum berkoar-koar tentang Revolusi Mental dan Gerakan Literasi, benahi dulu ekosistemnya, cocok enggak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H