Pertanyaan mengenai "apakah Nabi Muhammad ummi?" merupakan pertanyaan yang hingga kini dalam beberapa kondisi atau waktu acapkali dilontarkan. Di satu sisi sebagai umat Islam memang sudah menjadi keharusan dalam mengenal sosok Nabi Muhammad selain sebagai penuntun umat dan juga sebagai sosok suri teladan.
Buku Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora karya Ajid Thohir ini dipilih bukan tanpa alasan. Pembahasan mengenai ke ummi-an Nabi Muhammad yang dijelaskan di dalam buku ini sangat komprehensif. Selain menggunakan perspektif Al-Qur'an, hadis, ahli tafsir, maupun tokoh ahli, di dalam buku ini juga menghadirkan pendapat para orientalis.
Ajid Thohir selaku penulis buku Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad Saw dalam Kajian Ilmu Sosial-Humaniora merupakan penulis yang memang memiliki latar belakang akademik sebagai seorang sejarawan yang spesialisasinya dalam hal studi masyarakat kawasan. Selain itu, secara karier, Ajid Thohir kini telah menjadi guru besar sekaligus menjadi dosen di Pascasarjana Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Berkaitan dengan pengertian ummi, terdapat tiga pengertian dari perspektif yang berbeda, yakni:
1. Tidak berpendidikan dan asing terhadap tulisan
Pengertian ini didapat dari Qs. Al-A'raf/7:157-158 dan Qs Al-'Ankabut/29:48 yang memiliki arti: Engkau (Nabi Muhammad) tidak pernah membaca suatu kitab pun sebelumnya (Al-Qur'an) dan tidak (pula) menuliskannya dengan tangan kananmu. Sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis,) niscaya orang-orang yang mengingkarinya ragu (bahwa ia dari Allah)." Serta terdapat juga dalam hadis riwayat Ibnu Umar di dalam Sahih Bukhari yang menjelaskan mengenai ke ummi-an nabi yang tidak bisa membaca dan menulis.
Kebanyakan ahli tafsir lebih condong ke pengertian ini, di sisi lain ummi dapat diartikan juga sebagai orang yang dari lahir tidak mengenal karya tulis, pengetahuan manusia, dan buta huruf.
2. Penduduk Umm al-Qura
Pengertian ini didapat dari Qs. Al-An'am/6:92 yang memiliki arti: Ini (Al-Qur'an) adalah kitab suci yang telah Kami turunkan lagi diberkahi yang membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman pada (kehidupan) akhirat (tentu) beriman padanya (Al-Qur'an) dan mereka selalu memelihara salatnya.
Meskipun kata Umm al-Qura sebenarnya tidak dikhususkan untuk Makkah, lebih tepatnya kata Umm al-Qura digunakan di dalam Al-Qur'an sebagai penyebutan terhadap "pusat perkampungan."