Lihat ke Halaman Asli

Zaenal Abdullah

Seorang pemuda dari desa yang suka bertani, bisnis dan menulis

Tenaga Kerja Makin Sulit dan Mahal, Pertanian Indonesia Butuh Pemuda dan Mekanisasi

Diperbarui: 4 Januari 2017   15:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Padi fase anakan awal (Doc. Pribadi)

Tahukah anda, di Indonesia dengan sebutan negara agraris petani sulit mencari tenaga kerja untuk membantu mereka dalam mengelola lahan budidaya. Sebagian besar masyarakat tani Indonesia merupakan petani tua yang sudah tidak sekuat dulu tenaga mereka. Bayangkan saja di desa dengan luasan lahan pertanian 70ha hanya ada kurang lebih 18 orang pekerja di sawah dengan rincian 8 orang pekerja cangkul dll, 8 orang buruh tanam dan 2 orang tukang traktor, dengan wilayah terbagi atas 4 RW dan 4 orang per RW sebagai tenaga kerja, 2 orang tukang traktor di desa.

Mari kita berhitung bersama, dengan total 70 ha lahan dan 18 orang pekerja. Bila tanah yang dikerjakan adalah tanah tadah hujan (sebagian besar sawah wilayah Jawa/Indonesia) yang harus selesai pekerjaan penggarapan dersama dalam 2 minggu (14hari) maka 10 orang (tanpa buruh tanam) ini perhari harus menyelesikan 5 ha dengan 2 traktor. Padahal idealnya 1traktor tangan hanya mampu menyelesaikan lahan seluas 0,5 ha/hari jadi 2 traktor tangan mampu menyelesaikan 1ha dengan jumlah 14 hari hanya mampu menyelesaikan 14 ha, masih ada lahan 56 ha yang belum tergarap sehingga menimbulkan kemunduran waktu garap yeng berpengaruh pada intensitas hujan juga serangan hama.

Selain kekurangan tenaga kerja menimbulkan mundurnya jadwal tanam juga mengakibatkan bianya produksi yang makin naik. Sekarang di desa rata-rata tenaga kerja sekarang harganya 70 ribu belum ditambah dengan sarapan dan juga jaminan (snack) pada sore hari maka semakin tinggi pula bianya yang harus dikeluarkan oleh petani. (Belum membahas masalah produksi yang tidak menentu dan harga pupuk yang makin mahal dan langka dibeberapa kesempatan)

Dari uraian di atas rasanya mekanisasi pertanian harus lebih cepat diterapkan di Indonesia dengan tujuan efisiensi waktu, tenaga juga bianya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Selain efisiensi juga mekasisasi mampu menarik tenaga muda untuk terjun dibidang pertanian. Jangan salah, sampai sekarang pertanian di Indonesia masih dipandang sebelah mata juga pertanian yang kotor, panas dan yang paling penting adalah bertani itu tidak menguntungkan. Maka dari itu mari kita bersama merubah paradigma tersebut agar pertanian Indonesia menjadi lebih baik.

Sebagai Bocah Tani anyaran yang merasakan bertani di desa dan juga dinamika di Masyarakat ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk memajun pertanian Indonesia.

Pertama mari kita hidupkan lagi kelompok tani di desa dengan lebih profesional dipegang oleh para pemuda (dibawah 45th) yang lebih mampu mengakomodir kebutuhan kelompok juga mampu memfasilitasi petani anggota dan seluruh petani yang ada diwilayah mereka. Kedua mari bersama sharing pengetahuan bersama (muda maupun tua) agar mampu menyeimbangkan teknik pertanian sekarang (modern dan selaras dengan alam) dan meningkatkan kapasitas bersama.

Sambil berjalan dalam pembenahan organisasi dan peningkatan kualitas petani seharusnya negara mampu memfasilitasi masyarakat dalam hal itu juga untuk pemenuhan mekanisasi pertanian. Karena butuh modal yang besar dan belum tentu semua kelompok tani memiliki modal untuk mewujutkan hal tersebut.

*Tulisan ini berdasarkan kondisi pertanian di Indonesia khusunya daerah Pati (Jateng) sebagai daerah asal penulis juga daerah yang terncam oleh ekspansi penghancuran Gunung Kendeng.

Salam Cah Tani Nom

Yogyakarata, January 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline