Lihat ke Halaman Asli

Zaenal Abdullah

Seorang pemuda dari desa yang suka bertani, bisnis dan menulis

Petani Muda, Eksistensi, Lahan, Kepercayaan, dan Masa Depan

Diperbarui: 20 Agustus 2016   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - petani. (Kompas.com)

Berdasarkan data, dalam 10 tahun (2003-2013) rumah tangga petani berkurang sampai 5 juta keluarga. Banyak hal yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan petani, mulai dari lahan, cuaca, alam, sampai minat pemuda yang tidak ingin menjadi petani.

Bagi pemuda, bertani merupakan hal yang tabu, kotor, dan tentu saja gengsi sehingga eksistensi mereka dalam dunia sebayanya akan menjadi nilai tersendiri yang bisa menurunkan nilai kegengsian mereka. Selama menjadi petani, eksistensi pemuda dalam bermasyarakat juga akan dianggap sebelah mata. Usulan dan masukan untuk kemajuan daerah seperti hanya akan menjadi angin lalu walaupun mereka lulusan perguruan tinggi. Hal itu membuat makin langkanya petani muda di daerah.

Yang kedua tentang sulitnya menjadi petani muda adalah masalah lahan. Sebagian besar petani muda mempunyai garapan mengandalkan kepercayaan orang tua mereka untuk diserahi lahan garapan (karena lahan masih punya orang tua), apalagi kalau sawah tersebut milik mertua, tambah pelik urusan dan masalahnya. Saat kita pemuda mau bertani tetapi tidak punya lahan, apa kita bisa bertani? 

Saat orang tua atau mertua kita punya lahan dan mereka tidak mempercayai kita, apa kita bisa bertani? Apabila orang tua dan mertua kita punya lahan, mereka tidak percaya kepada kita untuk menggarap lahan, tapi kita yang mau menjadi petani menyewa lahan untuk menjadi garapan kita, apa masalah yang akan muncul? Pasti akan lebih rumit. 

Dari beberapa penelitian yang dilakukan lembaga pemerintahan maupun lembaga swadaya, banyak dari orang tua tani yang tidak menginginkan anaknya menjadi petani. Sehingga sulit rasanya bila kita tidak mendapat kepercayaan orang tua bila ingin menjadi petani, salah satu caranya adalah nekat (tutup telinga rapat-rapat dari cemoohan masyarakat dan ambil segala risiko bila mau bertani).

Dari uraian di atas, bisa kita simpulkan bagaimana masa depan pertanian kita. Sulit menjadi petani, sulit mencari petani muda, dan dipastikan lahan semakin sempit sehingga ke depan mungkin impor menjadi solusi satu-satunya bagi pemenuhan pangan. Semua yang saya tulis di atas bukanlah pesismisme atas pertanian kita sekarang. Masih banyak kawan saya yang sukses bertani dalam usia muda. Di antaranya ada pemuda dari Brebes yang sukses dengan bawang merahnya, Rembang dengan tembakau, Magelang dan Purwakarta dengan cabai, Sleman dengan salak, Bojonegoro dengan melon dan belimbing, Salatiga dengan padi, Banjar dengan kentang dan masih banyak lagi, termasuk Pati dengan berbagai hasil buminya sesuai slogan "PATI BUMI MINA TANI". Daerah saya sendiri yang kini terancam oleh penguasa yang kepar*t. 

Dengan adanya kita dan mereka menjadi angin segar sendiri bagi pertanian kita ke depan. Selalu semangat dan mari saling memanusiakan manusia.

Pati, 20 Agustus 2016

Salam,
Cah Tani Nom




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline