Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
(http://www.mui.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=65&Itemid=73)
Siapa yang panik atas fatwa MUI tersebut? Yang sudah pasti adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) beserta kawan-kawannya yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah jaringan ‘oposisi’ dalam Islam. Mereka sangat gencar sekali mengadu domba antar umat Islam dan antar umat Islam dengan agama lainnya. JIL dengan dalih mengusung persamaan hak antar agama membuat sebagian umat Islam menjadi resah, sehingga masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa terkait hal tersebut, sehingga jelas perbedaan antara yang hitam dan putih. Tidak ada wilayah abu-abu dalam masalah aqidah.
Menurut pengamat liberlisme Adian Husaini, jika ada yang mengatakan bahwa pluralisme itu bisa menerima kemajemukan perbedaan agama masyarakat, pada dasarnya pernyataan itu bohong. Karena pluralisme justru memaksa orang untuk ragu pada agamanya sendiri. Bahkan gara-gara pluralisme-lah orang jadi tidak beragama dan mendekat pada konsep atheisme.
Jadi, pluralisme merupakan sebuah isme yang berbahaya dan bahkan dapat memecah belah satu keluarga dengan berbagai macam pandangan terhadap sebuah agama. Dalam satu keluarga bisa terdiri dari berbagai macam agama, bisa disebut keluarga gado-gado.
Dalam membedakan suatu agama sebenarnya mudah saja, salah satunya bisa dilihat dari iman (kepercayaan) dari agama yang dianut. Seperti dalam Islam ulama sepakat bahwa keimanan seseorang bisa dilihat dari 6 unsur, yaitu kepercayaannya terhadap; Allah, Malaikat, Kitab suci, Rasul, Hari Kiamat dan takdir/nasib baik maupun buruk. Inilah hal prinsip yang tidak boleh dilepas umat Islam sebagai sebuah pondasi dalam rangka menanamkan sebuah akidah (keyakinan). Bagaimana mungkin dapat disamakan dengan agama lain yang tidak memiliki prinsip keimanan seperti ini.
Namun sampai saat ini ditengah-tengah masyarakat masih ditemukan perbedaan persepsi dalam mengartikan istilah pluralitas dan pluralisme. Apalagiseakan-akan umat Islam dikatakan menolak keragaman agama yang ada di Indonesia. Penulis hanya sekedar mensosialisasikan agar masyarakat terbiasa dan memahami arti dua kata tersebut, sehingga suatu saat ketika penganut paham pluralisme masuk ditengah-tengah keluarga kita dengan permainan kata-kata dan logikanya, maka kita semua sudah siap dalam menghadapinya.
Dalam akhir fatwanya MUI tidak lupa mengingatkan bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Tulisan ini hanyalah dalam rangka saling nasehat menasehati, agar umat Islam tidak terkotak-kotak dan tidak mudah diadu domba pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan Islam berkembang di Indonesia bahkan di dunia.
Wallaahua’lam.
_____________________
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H