Lihat ke Halaman Asli

abdul kholiq

Mahasiswa Abal abal

Cahaya Yang Kian Meredup

Diperbarui: 14 Juni 2023   23:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cahaya yang kian meredup 

Aku kembali ke tempat ini, dalam beberapa tahun terakhir memang aku menjadi sangat intens bolak balik kesini.
Kutoarjo-banyumas tidak terlalu jauh, mungkin karena seringnya lama-kelamaan perjalanan ini menjadi begitu singkat, menurutku.
Hanya saja yg menjadi penghambat adalah perbaikan jalan di kebumen. Seingatku selama 5 tahun terakhir ini, jalanan Kebumen sering mendapat perbaikan. Seolah bergantian, kadang di kebumen bagian barat saat akan masuk perbatasan dengan Banyumas, kadang lebih ketimur lagi, dan yg terakhir di Kebumen paling timur,.
Banyumas beda lagi, dalam kurun waktu yg sama jalanan di Banyumas yg aku lewati sangat jarang mendapat perbaikan, terutama jalan dari pasar Kemranjen sampai Buntu. Aspal yg bahkan sangat menggelombang, lubang jalan di sana-sini. Bahkan di depan rumah makan Handoyo gelombang di aspal begitu sangat memprihatikan. Tentu saja ini sangat berbahaya bagi pengendara. Entah apa penyebabnya. Mungkin karena Banyumas yg ku tempati berada di pinggiran, maksudnya bukan berada di pusat kota, entahlah itu bukan menjadi ranahku untuk terlalu ikut campur.
Aku hanya memainkan peranku sebagai rakyat untuk mengkritik, mudah bukan? Mudah-mudahan orang-orang yg bertanggung jawab atas hal ini segera mendapatkan solusi yg terbaik. 2 tahun aku tinggal di Banyumas, sebagai seorang pendatang, sebagai seorang pindahan.. tentu saja ada kewajiban bagiku untuk segera beradaptasi dengan lingkungan baruku, disisi lain tentu saja ada ketakutan, apakah aku akan diterima di tempat ini.
Luar biasa, dalam waktu yang singkat aku benar-benar jatuh cinta dengan tempat ini, aku tinggal di asrama sederhana yang jauh dari kata mewah, aku tinggal di plosok desa Kebarongan yg juga jauh dari hingar bingar modernisasi kota.

Nyatanya hal yang demikian sama sekali tidak mengubah perasaanku pada tempat ini. Aku pernah dihadapkan pada pilihan untuk tinggal di tempat yg jauh lebih baik, dengan berbagai fasilitas yang memadai. Aku juga pernah disuguhi pilihan untuk menempati tempat yg asri dan indah dengan pemandanganya. Namun lagi-lagi, aku adalah aku. Yang melihat dengan mataku, juga merasakan dengan hatiku.
Kebarongan, dengan auranya sendiri telah menyusupkan rasa nyaman yg begitu mendalam dalam diriku. Bukankah dalam hidup yg kita cari adalah kenyamanan? Lalu bagaimana jika sebagian besar rasa nyaman itu sudah aku tinggalkan di tempat ini.
Namun dalam hidup kita tak bisa selalu menjadikan rasa nyaman sebagai alasan untuk menghentikan perjalanan. Hidupku harus terus berlanjut, meski tak lagi menempatkan Kebarongan sebagai latarnya. Sialnya aku gagal move on, mau tidak mau selama 5 tahun terakhir ini, setelah proses belajarku selesai aku harus bolak-balik ke tempat ini lagi. Yap, sekedar untuk melepas rindu.
Sekarang aku benar-benar kehilangan masa-masaku tinggal di Kebarongan. Memang benar adanya bahwa kehilangan yg paling jauh adalah meninggalkan kenangan dibelakang kita, menjadi rumit untuk kembali.

Tapi lebih dari pada sekedar kehilangan Kebarongan. Ternyata aku juga telah kehilangan diriku sendiri, aku sangat merindukan diriku yg dulu. Sebelum aku meninggalkan Kebarongan. Beberapa penggal kisah yg kulalui setelah aku diharuskan kembali ke kampung halamanku telah banyak merubahku.
Bahkan aku tak mengenal diriku sendiri, begitu berbeda. Aku yg dulu pernah menjadi seseorang yg cukup religius telah disulap oleh kampung halamanku. Aku yg dulu sempat menjadi seseorang yg selalu berusaha menjaga diri, sekarang menjadi sosok yg kehilangan kendali.
Dulu sekali, sebelum aku masuk episode Kebarongan. Saat masih mengenyam pendidikan di bangku pesantren sebelumnya (aku masih sangat mengingatnya) seorang guru memberi satu ultimatum bahwa kita para santrinya akan sulit untuk memiliki kepribadian yg sama saat sudah keluar dari pesantren.
Aku tak terlalu menghiraukan peringatan beliau. Dengan sombongnya, aku merasa apa yg aku terima di bangku pesantren sudah cukup menjadi bekal untuk menghadapi dunia luar.
Nyatanya tidak. Berkali-kali aku harus bertekuk lutut dengan kehidupan di luar pesantren. Bak burung yang terbebas dari sangkarnya, perlahan aku menjadi silap mata. Hinggap kesana-kemari tanpa lagi mengenal batasan.
Aku merindukan diriku sendiri, yg pernah menjadi begitu takzim dengan segala kerendahan. Kendati demikian, layaknya kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur, sekarang tinggal aku nikmati buburnya. Tak penting untuk terlalu larut dalam penyesalan, bukankah selama kita masih berada di atas tanah, artinya kita masih punya waktu untuk berbenah?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline