Lihat ke Halaman Asli

Gizi Buruk di Tengah Program Kesehatan Gratis dan Janji Kesejahteraan Pilkada

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_164456" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Kurang lebih satu tahun terakhir ini para elit lokal di Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulsel fokus untuk mengurusi Pilkada langsung yang kedua kalinya yang jatuh pada 23 Juni mendatang. Fokus mereka adalah intinya kurang lebih bagaimana memenangkan Pilkada disana. Ditingkatan internal mereka, aktivitas rapat/pertemuan formal acap kali berlangsung; entah itu di Pangkep sendiri, atau luar Pangkep—terutama di kota Makassar. Sementara pada ruang eksternal, beberapa diantara mereka rajin—pro aktif hadir di ruang-ruang sosial masyarakat Pangkep, diundang ataupun tak diundang. Mereka datang untuk memaparkan dihadapan orang-orang apa yang akan dikerjakannya bila terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati Pangkep lima tahun akan datang. Rencana-rencana itu dinarasikan dengan bahasa cukup “canggih”. Rasa puas tersendiri akan terbit ketika media massa mempublikasikannya. Dan kepuasan itu tentu semakin paripurna bila nantinya pasangan kandidat Bupati/Wakil bupati atau tim yang bersangkutan benar-benar terpilih dalam Pilkada mendatang. Barisan rencana-rencana itu layaklah disebut rencana program kerja. Namun, sebenarnya, substansi dari agenda-agenda itu ditunaikan tentu untuk merengguh suara politik rakyat, untuk memenangi Pilkada. Apalagi saat ini musimnya kampanye pilkada di Pangkep. Maka semakin terdengarlah barisan kata-kata bertema kesejahteraan, atau setumpuk rencana kerja bernada kesejahteraan. Namun semuanya tetap berstatus “janji”. Disaat telinga dan mata kita mendengar dan menyaksikan pemasaran janji-janji kesejahteraan itu—sebuah kabar hadir menghentakkan naluri kemanusiaan kita. Koran lokal Sulsel Harian Fajar Makassar, edisi 9/6/2010 membawa kabar itu. Akmal—seorang bocah asal Kelurahan Bone, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep menderita gizi buruk. Ia datang dibawa oleh ibunya Ani ke kantor redaksi harian Fajar pada malam hari (8/6/2010). Tentu tujuannya untuk meminta pertolongan. Wajar jika Ani—ibunda Akmal melakukan itu. Sebab, secara ekonomi ia tak mampu membiayai pembebasan anaknya dari gizi buruk. Menurutnya, suaminya hanya berpenghasilan Rp. 15.000 per hari. Masuk akal pula bila Ani datang ke Makassar bersama Akmal mengharap pertolongan dari non-pemerintahan Pangkep, karena menurutnya Puskesmas di kampungnya kurang memberi perhatian pada Akmal anaknya yang menderita gizi buruk. Situasi bertambah buruk, karena Dinas Kesehatan Pangkep tidak pernah melakukan pemantauan apalagi memberikan bantuan makanan tambahan pada Akmal (Fajar, 9/6/2010). Setidaknya, ada dua point yang penting direfleksikan dari kasus gizi buruk Akmal ini. Pertama, Pangkep sejak beberapa tahun lalu (masa kepemimpinan almarhum Ir. H. Syafruddin Nur. Msi) telah memprogramkan pendidikan dan kesehatan gratis sampai kini. Artinya, patut disayangkan keadaan Akmal yang gizi buruk itu, karena pada saat yang sama pemerintah setempat (katanya) tengah memprogramkan kesehatan gratis bagi rakyat. Pengakuan ibunda Akmal diatas (bahwa Puskesmas di kampungnya kurang memberi perhatian serta Dinas Kesehatan Pangkep tidak pernah melakukan pemantauan dan tidak memberi bantuan makanan tambahan pada Akmal) menunjukkan bahwasannya Akmal sama sekali tidak tersentuh program yang selalu dibunyikan populis itu yang akrab dengan nama kesehatan gratis. Kedua, gizi buruk Akmal mencuat ketika enam pasangan kandidat Bupati/Wakil Bupati Pangkep sedang ramai-ramainya menjanji. Pertanyaan kritisnya; kemana mereka (para kandidat) selama ini? Bukankah para kandidat ini juga dikenal sebagai warga Pangkep? Kemana para kandidat selama ini?, bukankah Akmal telah lama menderita gizi buruk? Bila memang ada komitmen untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat, mengapa para kandidat itu tidak sejak dulu menemukan Akmal untuk mengatasi gizi buruknya? Bukankah para kandidat itu juga warga asal Pangkep sendiri yang masing-masing (maaf) merasa mengakar secara sosial? Selanjutnya, mari memaknai barisan-barisan pertanyaan ini. ••• Apapun makna yang diberikan, persoalan dasarnya bahwa kasus gizi buruk Akmal mencuatkan pelajar kritis bagi publik, bahwa negara dan segala perangkatnya (setidaknya di kabupaten Pangkep) sama sekali tak mengurus rakyatnya—meskipun disana-sini terdengar “gratis-gratis” untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat kemudian berada dalam penantian yang panjang akan kesejahteraan yang dijanjikan setiap lima tahun tiba. Padahal, mereka terpilih karena suara rakyat. Ungkapan “Vox populi, vox dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan) benar-benar nyata; mereka duduk di kursi kekuasaan karena suara rakyat. Namun, jika “suara rakyat” difahami sebagai “suara Tuhan”, maka janji pada rakyat sebenarnya adalah janji pada Tuhan pula.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline