Miris membaca tulisan Blogger Iast Wiastuti yang dimuat kompasiana 22 Juni lalu. Judulnya tendensius. "Langkah Tegas Metro TV, Pembelajaran Televisi Tertibkan Kontributor". Miris bukan karena ada seorang kawan yang dipecat. Tetapi lebih kepada substansi tulisannya. Isinya penuh kesalahan berpikir. Menggeneralisasi semua kontributor berlaku tak terpuji. Dalam ranah sosial cara berpikir ini biasa disebut The Fallacy of Dramatic Instance-over generalisasi (Jalaludin Rakhmat : 12). Istilah ini bisa dimaknai menjadikan satu dua kasus yang dipergunakan untuk mendukung argumen yang bersifat general. Kang Jalal memprediksi orang yang melakukan kesalahan berpikir jenis ini ada kecenderungan pergaulan yang kurang luas dan buku yang dibaca kurang banyak.
Apa yang ditulis dalam artikel itu tak ubahnya ucapan komisioner KPK yang menganggap kader HMI terlibat korupsi semua. Memandang semua kontributor sebagai predator. Memandang semua kontributor sebagai insan tak berakhlak yang kerap mengelabui narasumber. Berkelompok melakukan ancaman, tekanan terhadap narasumber.
Saya kontributor Metro TV. Sejak 2004. Hingga kini saya masih aktip mengirim berita. Seingat saya selama menjadi kontributor, tidak pernah melakukan ancaman kepada narasumber. Apalagi menjadi predator kepada stringer saya. Meminta setoran dan memberi setoran kepada produser ataupun kordinator daerah di Jakarta. Belum pernah. Begitu pun para petinggi kami di Jakarta, belum pernah meminta setoran kepada kami-khususnya saya. Saya tidak tahu kalo di tempat saudara Iast bekerja selama ini. Jangankan memberi setoran untuk para atasan kami, untuk kebutuhan liputan saja terkadang kami harus gali lubang tutup lubang. Perlu diketahui kontributor itu tidak digaji. Penghasilan kami hanya dari berita tayang. Alhamdulillah-nya Metro TV selama ini jarang sekali telat dalam membayar kami. Dulu sebelum 2006 penghasilan kami biasa dibayar perbulan. Setiap tanggal 30. Tetapi setelah 2006-seingat saya, Metro TV mengirim honor kami perdua minggu. Selain honor berita tayang kami juga mendapatkan penggantian uang operasional untuk mengirim berita via streaming.
Tuduhan tuduhan yang dilontarkan penulis Iast jelas sangat menyakitkan. Oknum kontributor seperti itu mungkin saja ada. Tetapi jika berbicara oknum, bukan hanya kontributor. Wartawan yang menjadi karyawan tetap pasti ada. Bahkan bukan hanya wartawan lapangan, saya meyakini juga pada tingkatan lebih tinggi seperti produser, korlip, sampai pemimpin redaksi ada juga oknum yang kerap bermain dengan berita.
Tetapi cara "menggoreng" beritanya berbeda dengan kami kami ini yang di lapangan. Tentu nominal yang dipermainkan juga berbeda-tetapi mudah mudahan ini hanya asumsi saya. Tetapi untuk mengetahui lebih jauh soal ini silahkan saudara Iast baca buku Media dan Kekuasaan karya Ishadi SK. Kalo tidak punya anda bisa saya kasih bukunya.
Sekilas saya ingin menceritakan perihal buku itu. Ada banyak selubung dibalik proses lahirnya sebuah berita. Salah satu selubungnya adalah adanya permainan dari petinggi di news room. Saya juga tidak habis pikir, saudara Iast menulis kehadiran kontributor berbanding lurus dengan suburnya penyalahgunaan fungsi jurnalistik.
Dari sisi mana ini bisa dibenarkan.? Lagi lagi anda terjebak dalam intellectual cul de sac. Kesalahan berpikir akut. Karena penyalahgunaan fungsi jurnalistik ini hadir dari zaman ke zaman. Bukan hanya saat zaman boomingnya kontributor. Anda juga nampaknya perlu kembali harus membaca laporan Sirikit syah perihal pengalamannya menjadi jurnalis televisi. Tulisannya dimuat di Majalah Pantau Edisi Agustus 2001. Sekali lagi jika anda tak memilikinya bisa saya kirimkan tulisannya.
Ini juga perlu saudara Iast ketahui, kami para kontributor tidak senista seperti yang anda tulis itu. Karena masih banyak juga diantara kami yang masih seirama dengan apa yang ditulis dalam editorial Tempo pasca bredel 6-12 Oktober 1998 yang lebih mengedapankan kemerdekaan dan harga diri dari pada nafkah berlimpah dan kepuasan profesional belaka. Di awal tulisannya saudara Iast menulis kontributor Metro TV yang dipecat tak perlu disebut namanya tapi foto surat pemecetannya anda share di ruang publik. Saya jadi bertanya ada agenda apa di balik tindakan ini? Memuji setinggi langit Metro TV tetapi menistakan kami sebagai kontributor.
Perlu anda ketahui saudara Iast, kini nyaris semua televisi mempekerjakan kontributor. Metro TV saja saya yakin lebih dari 100 kontributor. Setiap kontributor biasanya bertanggungjawab satu wilayah. Tetapi ada juga satu kontri yang bertanggungjawab liputan di dua kota atau bahkan ada seorang kontributor yang bertugas di satu provinsi. Setahu saya Banten dan Sulawesi Barat salah satunya. Sekali lagi kami bukan predator seperti yang saudara Iast tulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H