Lihat ke Halaman Asli

Abdul Holik

Catatan pribadi

Membaca Arah Indonesia Pasca Jokowi

Diperbarui: 20 Oktober 2024   08:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

20 Oktober 2024 Indonesia mengawali babak baru dalam perjalanan demokrasinya. Presiden Joko Widodo yang telah mengarahkan nahkoda negara kepulauan terbesar di dunia selama satu dekade penuh, kini menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Prabowo Subianto. Transisi ini bukan sekadar ritual politik lima tahunan, melainkan momen krusial yang akan menentukan arah 270 juta jiwa menuju seperempat abad berikutnya.

Jokowi meninggalkan warisan yang penuh paradoks. Selama kepemimpinannya Indonesia menyaksikan lonjakan pembangunan infrastruktur yang belum pernah terjadi sebelumnya. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa anggaran infrastruktur meningkat dari Rp 177 triliun pada 2014 menjadi Rp 417 triliun pada 2019, sebuah peningkatan lebih dari 135% dalam lima tahun. Hasilnya terlihat nyata: 1.298 km jalan tol baru yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi, 18 bandara baru yang membuka akses ke daerah terpencil, dan mega proyek pemindahan ibu kota ke Kalimantan yang bernilai Rp 466 triliun.

Namun, di balik gemerlap pembangunan, tersembunyi beban utang yang membengkak. Rasio utang terhadap PDB melonjak dari 24,7% pada 2014 menjadi 41,38% pada akhir 2023. Meskipun masih di bawah batas 60% yang ditetapkan undang-undang, tren kenaikan ini mengkhawatirkan banyak ekonom. Agusto Sulistio, pengamat kebijakan publik dari AstabratA Institute, dalam kajiannya baru-baru ini menyatakan, "Beban utang dan cicilan yang besar ini bisa mempengaruhi kepercayaan investor. Risiko kredit meningkat, yang pada akhirnya dapat membuat biaya pinjaman untuk Indonesia lebih mahal di masa depan."

Prabowo Subianto kini berdiri di persimpangan yang menentukan. Ia mewarisi ekonomi yang tumbuh stabil di angka 5,3% pada 2023, namun menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Perang dagang AS-Tiongkok yang tak kunjung reda, krisis iklim yang mengancam ketahanan pangan, dan disruption teknologi yang mengubah lanskap industri global adalah beberapa isu yang harus ia navigasi dengan cermat.

Salah satu problem utama yang ditinggalkan era Jokowi adalah kesenjangan ekonomi yang semakin menganga. Koefisien Gini Indonesia, yang mengukur ketimpangan pendapatan, hanya turun sedikit dari 0,414 pada 2014 menjadi 0,391 pada 2023. Ini menunjukkan bahwa buah manis pertumbuhan ekonomi belum terdistribusi secara merata. Agusto Sulistio menambahkan, "Pada 2025, pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto akan menghadapi beban utang yang sangat besar. Dengan cicilan utang yang diproyeksikan mencapai Rp800 triliun, pemerintah baru harus mengambil langkah-langkah strategis agar anggaran tidak terpuruk."

Prabowo harus mencari solusi yang tidak hanya menjawab tantangan hari ini, tetapi juga mengantisipasi Indonesia masa depan. Reformasi birokrasi yang radikal menjadi keharusan. Indeks Kemudahan Berbisnis Indonesia yang stagnan di peringkat 73 dari 190 negara pada 2020 menunjukkan masih banyaknya hambatan birokratis yang menghalangi investasi. Penyederhanaan proses perizinan dan digitalisasi layanan publik harus menjadi prioritas utama.

Diversifikasi ekonomi juga menjadi kunci. Ketergantungan pada ekspor komoditas primer seperti batu bara dan kelapa sawit - yang menyumbang lebih dari 25% total ekspor pada 2023 - membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global. Pengembangan industri bernilai tambah tinggi, terutama di sektor teknologi dan ekonomi kreatif, harus didorong untuk menciptakan lapangan kerja berkualitas dan meningkatkan daya saing global.

Investasi di sektor pendidikan menjadi lebih krusial dari sebelumnya. Meski anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari APBN sesuai amanat konstitusi, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal. Skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia pada 2022 masih di bawah rata-rata OECD di semua bidang yang diuji. Peningkatan kualitas guru, pembaruan kurikulum yang berorientasi masa depan, dan pemerataan akses pendidikan berkualitas harus menjadi fokus utama untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi era Revolusi Industri 4.0.

Dalam arena internasional, Indonesia perlu meningkatkan perannya. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan PDB mencapai US$ 1,31 triliun pada 2023, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global. Diplomasi ekonomi yang lebih agresif, terutama dalam forum-forum seperti G20 dan ASEAN, akan membuka peluang baru bagi industri dalam negeri.

Transisi kekuasaan ini bukan hanya tentang pergantian pemimpin, tetapi juga momentum untuk introspeksi nasional. Indonesia, dengan segala potensi dan tantangannya, berada di ambang transformasi besar. Prabowo Subianto kini memikul tanggung jawab untuk tidak hanya melanjutkan warisan positif Jokowi, tetapi juga berani mengambil langkah-langkah korektif yang mungkin tidak populer namun diperlukan untuk kebaikan jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline