Lihat ke Halaman Asli

Urgensi Ta'aruf

Diperbarui: 5 Desember 2017   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : http://daudyahya7.blogspot.co.id/2014/10/tak-kenal-maka-taaruf.html

Syariah mengajarkan bahwa tindakan apa pun yang kita ambil dalam kehidupan tidak boleh disertai dengan keraguan, apalagi dalam masalah pernikahan. Ibadah yang dijuluki oleh Rasulullah saw dengan nishfuddin atau setengah agama karena arti pentingnya yang luar biasa ini, tentu harus disertai dengan keridhaan menerima pasangan, kemantapan hati untuk bersam si "dia" melangkah bersama dan perasaan lapang dada.

Meskipun pernikahan barakah yang kita dambakan tidak didahului dengan pacaran sebagai ajang kenal-mengenal sebelum menikah, bukan berarti kita dilarang mengenal calon pasangan sebagai satu sarana pemantapan hati. Beberapa hal berikut ini membuka wawasan kita tentang urgensi taaruf.

Taaruf menjelang pernikahan justru sangat penting karena kita tidak diajari untuk "membeli kucing di dalam karung". Kita harus yakin bahwa "si dia" yang kita terima sebagai calon teman hidup sepanjang hayat adalah si dia yang kita kenal dari beberapa sisi-sisi yang prinsip (karena tidak mungkin mengenal dari seluruh sisi, ini bisa disambung nanti setelah pernikahan, diseluruh usia pernikahan). 

Misalnya, sisi din dan akhlak, sisi wajah (agar tak keliru menunjuk sang calon ketika dia bersilaturrahmi ke rumah orang tua), atau sisi latar belakang sang calon dan keluarganya. Taaruf diperlukan agar tahu bentuk rupa dan penampilannya.

Taaruf adalah jembatan yang memperdekat jarak agar bisa melihat dengan lebih gamblang, apakah si calon memang cocok, atau justru kita, setelah taaruf, lebih jernih melihat akan ada banyak hal yang dipaksakan bila kita tetap berniat untuk menikah dengannya. Taaruf membantu untuk mantap menentukan keputusan, terus berlanjut atau berhenti di sini atau lebih ada di zona tengah, mengumpulkan dan menimbang lebih banyak data agar keputusan yang akhirnya kita ambil adalah keputusan terbaik, menurut Allah swt dan atas ikhtiar kita.

Taaruf juga mempersempit peluang penyesalan setelah menikah. Dengan taaruf, setidaknya, kita telah mengenal wajahnya, tak hanya lewat foto atau cerita dari pihak ketiga dan diharapkan kita merasa nyaman dengannya. Kita juga telah melihat warna kulitnya, data-data pribadinya dan hal-hal umum atau khusus yang berkaitan dengannya.

Semua itu diharapkan agar penerimaan kita terhadap pasangan adalah penerimaan yang diiringi dengan kesadaran penuh, tidak atas dasar paksaan dari orang lain. Juga kita tak layak bersandar pada asumsi, misalnya, "Ah, tak apa-apalah tak bertemu dengannya, tak apa-apa juga tidak melihat wajahnya, aku ikhlas karena Allah. 

Bila memang ini takdirku, meski aku tak taaruf, tentu aku kan bahagia hidup bersamanya." Tentu saja ini masalah pilihan yang konsekuensinya harus disadari penuh. Tapi bahwa syariat tidak boleh dibangun atas dasar asumsi, itu juga harus kita ketahui. Nash syariat adalah nash yang pasti, tidak didasari pada selera seseorang atau pilihan karena cara pandangnya.

Taaruf dimaksudkan pula untuk menyederhanakan masalah yang mestinya memang sederhana, tidak berbelit-belit atau rumit. Terkadang banyak yang mesti dicatat ketika taaruf dan banyak pula pertanyaan yang diajukan. Jawaban yang diinginkan pun diharapkan detail dan serbagamblang. Padahal, keberhasilan sebuah pernikahan, tidak semata-mata ditentukan oleh taaruf yang Panjang dan lama, taaruf yang 'sederhana' bisa jadi akan membuka pintu-pintu yang lain yang lebih barakah, agar pernikahan islami yang didamba menjadi semakin indah.

(Sumber : Buku Tak Kenal Maka Ta’aruf karya Asri Widiarti)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline