Eksplorasi Konseptual Kebahagiaan Hidup:
Landasan Filosofis dan Psikologis.
Oleh: Abdul Hanan, QH., M.Sos. (Dosen UIN Mataram)
Kebahagiaan sering dianggap sebagai tujuan akhir manusia karena secara biologis dan psikologis, manusia cenderung mencari keadaan yang menyenangkan dan menghindari penderitaan. Kebahagiaan mencerminkan keadaan sejahtera dan kepuasan hidup, yang mencakup pemenuhan kebutuhan fisik, mental, maupun emosional.
Filosof-filosof seperti Aristoteles memandang kebahagiaan sebagai tujuan hidup yang universal. Segala tindakan manusia dianggap bermuara pada upaya untuk mencapai kebahagiaan, baik melalui pencapaian kebajikan, hubungan yang harmonis, maupun kehidupan yang bermakna.
Selain itu, kebahagiaan juga menjadi pendorong utama di balik keputusan manusia. Banyaka jaran agama dan filosofi menekankan bahwa tujuan hidup tertinggi adalah kesejahteraan jiwa dan kebahagiaan yang abadi, baik melalui pencapaian spiritual atau hubungan dengan Tuhan.
Dalam filsafat moral, Al Farabi mengukur sesuatu dengan mengaitkan dengan tujuan akhir,ini kemudian disebut dengan istilah teleologis. Teleologis adalah sebuah konsep di mana baik dan buruknya tindakan moral didasarkan atas tujuan yang ingin diraih.
Apa yang dimaksud baik adalah tindakan yang mempunyai tujuan-tujuan baik sedangkan keburukan adalah tindakan-tindakan yang mempunyai tujuan tidak baik meski secara materiil mungkin baik.
Lawan dari teori ini adalah apa yang disebut sebagai deontologis, yaitu sebuah konsep moral di mana kebaikan dan kejahatan didasarkan atas nilai dan hakikat tindakan itu sendiri.
Misalnya, dusta adalah jahat menurut etika tidak peduli baik atau buruknya akibat atau tujuannya.
Maka Al-Farabi dalam karyanya Mabadi' Ara' Ahl Al-Madina Al-Fadlila (Kitab Permulaan Pendapat Penduduk Kota yang Sempurna) menawarkan konsep kebahagiaan sebagai hakikat dan tujuan akhir manusia.