Bagi sebagian masyarakat gratifikasi adalah hal yang lumrah dan sering terjadi pada pejabat ataupun instansi daerah mulai dari tingkatan RT hingga Provinsi. Sudah tertanam didalam benak masyarakat bahwa gratifikasi adalah kewajiban "balas jasa" dengan memberikan sesuatu dalam bentuk uang, barang, DLL kepada pelayan masyarakat, yang padahal memang itu adalah pekerjaan dan tugas mereka sebagai pelayan masyarakat, di jelaskan juga bahwa gratifikasi masuk dalam ranah suap atau bagian tindak korupsi.
Sesuai dengan UU tipikor, yang di jelaskan pada Pasal 12B UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Gratifikasi pada dasarnya adalah "suap yang tertunda" atau sering juga disebut "suap terselubung"
Banyak kecacatan paham dan penyelewang arti pelayan masyarakat yang dilakukan oleh pejabat ataupun instansi daerah. dengan mematok harga pelayanan yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku dengan isitlah "uang rokok" atau "uang bensin" dan apabila praktek gratifkasi tidak dilakukan maka akan dipersulit dan dibuat lama oleh mereka dan koleganya.
Berangkat dari pengalaman pribadi ini saya rasakan ketika mengurus surat pengantar numpang nikah di tempat saya tinggal yang apabila sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak dikenakan biaya, namun karena praktek gratifikasi ini, saya dikenakan biaya sebesar Rp.400.000 hanya untuk RT, diluar dari pembayaran Rp.600.000 yang diperuntukan untuk KUA. dan masih banyak kasus serupa yang dirasakan oleh masyarakat luas.
Harapan besar kepada pemerintah pusat ataupun daerah yang sadar dan sehat dalam berpikir, agar mulai menulusuri secara detail praktek gratifikasi ini dari lini terbawah hingga lini teratas. Sehingga praktek gratifikasi ini bisa diminimalisir yang notabene membebankan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H