Lihat ke Halaman Asli

Kasus Hary Tanoe, Bukti Keadilan Hukum Telah Mati?

Diperbarui: 14 Juli 2017   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: imgrum.org

Negara Indonesia adalah negara hukum. Itulah kutipan dari Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4. Adanya dasar hukum tersebut memberikan pandangan bahwa dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, Negara Indonesia bersandar akan hukum yang adil. Itulah ikrar yang selalu dibangga-banggakan negeri ini.

Sudah cukup lama negara ini merdeka. Sudah banyak hal yang dilewati oleh bumi pertiwi ini. Namun entah mengapa dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, kalimat tersebut seakan hanya menjadi penghias dan pelengkap dalam konstitusi. Negeri ini seakan jauh dari yang namanya keadilan. Keadilan seolah-olah hanya menjadi mimpi lama yang entah kapan akan terwujud.

Hukum kerap dijadikan alat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya sendiri. Hukum mudah diintervensi. Jika sudah menyangkut kepentingan kelompok, maka rakyat jadi korban intimidasi dan dikriminalisasi.

Kasus yang menimpa Ketua Umum Partai Perindo Hary Tyanoesoedibjo merupakan contoh nyata dari kesewenang-wenangan para penegak hukum negeri ini. SMS Hary Tanoe yang dituh sebagai ancaman, benar-benar nyata merupakan tindakan kriminalisasi penguasa.

Ini bukan soal Hary Tanoe. Tapi lagi-lagi soal keadilan. Jika seorang Hary Tanoe saja bisa diperlakukan tidak adil, dikriminalisasi, apa lagi yang lain. Karena bagaimanapun, kasus Hary Tanoe akan menjadi yurisprudensi. Jika saja semua orang mengirimkan pesan dan dalam pesan tersebut ditulis akan memberantas korupsi, atau narkoba, misalnya, maka pasti orang tersebut juga akan ditetapkan sebagai tersangka laiknya Hary Tanoe.

Jika saja mereka memiliki akal sehat dan tidak terintervensi oleh kepentingan apapun, yakin seyakin-yakinnya, SMS Hary Tanoe bukanlah sebuah ancaman.

Sumber Gambar: Twitter.com (@LangkahHT)

Dalam SMS Hary Tanoe, tidak ditemukan kata "akan dibacok" layaknya pakar IT Hermansyah yang dibacok di Tol Jagorawi. Juga tidak ada kalimat "akan disiram air keras" semisal Novel Baswedan yang disiram air keras sehabis shalat subuh di mushola dekat rumahnya. Tapi SMS tersebut bersifat umum (oknum-oknum). Tidak diperuntukan kepada siapapun, apalagi Yulianto. Jika Yulianto kemudian merasa terancam, bisa dipertanyakan apakah Yulianto termasuk salah satu dari oknum yang dimaksud dalam SMS Hary Tanoe tersebut.

Maka, demi keadilan dan kepastian hukum di negeri ini, Hary Tanoe sangat tidak layak dijadikan sebagai tersangka. Jika tetap memaksa, maka sungguh kriminalisasi penguasa saat ini, telah tampak dalam kasus Hary Tanoe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline