Hampir genap satu bulan ini kita belum menemui hasil kebaikan setelah apa yang terjadi, dan dirimu memilih untuk pergi. Pun demikian hanya ego masing-masing yang akhirnya menang.
Seperti inikah kerinduan dibalik dinding bisu yang kau tangguhkan? Untuk sedikit saja aku tidak dapat mendengar kabar, hingga dialog singkat pun tidak ada. Walaupun sekata.
Dipeluknya kesepian, hampa. Diendapnya lara, kecewa. Dihujani sesal-sesal yang tiada akhirnya dan harus bagaimana. Seharian penuh mencari dan menanti kabarmu, sedikit saja. tidak ada, percuma. Aku tak mampu dinestapa rindu.
Ketakutan-ketakutan berjalan sendiri yang belum pernah kualami sebelumnya, kini menjadi pijakan di mana semua harus terus berjalan, menahan sakit dari rasa yang berlebihan, asmara yang jauh berjalan, dan bagaimana keduanya takut akan kehilangan. Ikrar keduanya sebelum menemui perpisahan.
"Kembali" satu kata yang selalu membasahi bibir, bermuara pada kepala, hingga relung-relung hati yang patah ini nama mu selalu kurapal kan dalam ritual yang ku langit kan. Tuhan.
Kini, hanya ada senyumnya dikepalaku, semua tentangmu yang sulit kubunuh, bahkan menyimpan dirimu dengan rapi dan di tempat yang terbaik menurutku pun aku tidak mampu. Belum rela. Apa aku salah mencintaimu sedalam ini? Menginginkanmu kembali lagi? Tak ada jawaban pasti. Selain, "Aku benar-benar sayang padamu". Lirih Hati.
Dan aku pernah melihat itu, satu waktu kita akan kembali ke sediakala. Tapi itu hanya dalam angan dan akan terus hidup dalam khayalan. syukurnya, tidak ada batas mengenai itu. Jadi, tetap hiduplah dan tumbuh sesuai pada Kadar-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H