Lihat ke Halaman Asli

Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia

Diperbarui: 20 September 2015   12:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sebuah Resensi Buku Jombang Cairo-Jombang Chicago)

Kita boleh curiga kepada kimia tanah dan air sumur di Jombang Selatan yang dulu membesarkan Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Seakan-akan terdapat zat tertentu aneh yang mendoroh kedua tokoh ini rajin menyodorkan hil-hil yang mustahil. Kedua tokoh ini telah menjadi tokoh nasional karena kiprah dan pemikiran keislamannya yang tampil beda (baru, kontroversi dan inklusif). Dalam konteks kehidupan keberagamaan dan kehidupan berbangsa, Gus Dur dan Cak Nur adalah dua sosok sentral yang arti penting dan popularitasnya sulit ditandingi. Kedua figur ini telah membuat sejarah dengan kiprahnya berhasil membangun peradaban muslim Indonesia yang berbeda dengan era sebelumnya. Boleh jadi, ini lah yang membuat hati penulis buku ini ingin mengungkap mengenai kiprah dan pemikiran kedua tokoh bangsa tersebut dalam rangka pembaruan Islam di Indonesia.

Gus Dur dalam pandangan mayoritas adalah misteri. Ia sosok yang kontroversial yang tak henti-hentinya membuat bingung semua orang. Saking nyeleneh-nya, Gus Dur bahkan membuat semua orang yang mencoba memahaminya menjadi “frustasi”. Keputusan ini tercermin dalam banyak ungkapan yang menghiasai ranah wacana di Indonesia. Bahkan dalam bahasa yang setengah humor Gus Dur dinilai sebagai keajaiban dunia yang kedelapan. Bagi kaum Nahdliyin, mantan Presiden RI ke-4 ini dipercaya sebagai wali, paling tidak keturunan wali. Di area politik aktivis Forum Demokrasi ini dituding inkosisten. Yang lebih ekstrem lagi, dia sampai dijuluki orang yang waton suloyo hingga Forum Langitan pun merasa perlu memintanya berjanji untuk berhenti bikin “geger”, baik dengan ucapan maupun perbuatan, sebelum memberikan restu bagi Gus Dur naik tahta kepresidenan.

Anggapan negatif terhadap dua tokoh tersebut telah ditepis oleh Syamsul Bakri dan Mudhafir dalam buku Jombang Kairo, Jombang Chicago ini. Syamsul Bakri dan Mudhafir menilai antara Gus Dur dan Cak Nur memang ada sedikit berlainan. Asal memang boleh sama dari Jombang. Dari segi tradisi akademik pun sama-sama tumbuh dari pesantren, tetapi dua sosok ini tetaplah figur dengan karakteristik (watak individu, pemikiran, jalur perjuangan) yang berbeda. Dalam buku ini dijelaskan secara komprehensif tentang bagaimana pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam rangka pembaruan Islam di negeri Khatulistiwa ini. Jika Gus Dur terkesan meledak-ledak, cuek, rumit dan melangit, Cak Nur sebaliknya, dicitrakan sebagai sosok yang jernih, adem dan membumi.

Jika dilihat dari segi latarbelakang pendidikannya, Cak Nur adalah alumnus Gontor dan universitas Barat dengan tradisi modern, Gus Dur alumnus pesantren

tradisional dan universitas Timur Tengah dengan tradisi relatif formalistik. Namun, keduanya memiliki minat baca yang sama. Mereka menyukai bacaan-bacaan serius yang berbahasa asing. Keduanya mahir dengan berbagai bahasa di negara-negara Islam dan Barat sehingga wawasan keislaman dan kemodernan mereka luar biasa melampaui rekan seangkatannya. Dengan kejeniusan yang dimiliki ini, pada usia muda mereka telah mengemukakan pokok-pokok pikiran yang cenderung cemerlang dan mewarnai alam pikiran umat Islam Indonesia. Dalam dikursus pemikiran Islam Indonesia keduanya dikelompokkan ke dalam tokoh neomodernisme.

Pemikiran Gus Dur

Buku setebal 158 halaman ini tidak lain adalah menekankan pemikiran seorang Abdurrahman Wahid yang memiliki pandangan dasar bahwa Islam harus secara aktif dan substantif ditafsirkan dan dirumuskan ulang agar tanggap terhadap kehidupan modern. Olehkarenanya, reformulasi Islam dalam kehidupan sekarang ini menurutnya sangat diperlukan untuk diterapkan.

Cara pandang Gus Dur yang apresiatif terhadap perubahan ini pada dasarnya bersumber dari kaidah yang dianut  ulama Nahdlatul Ulama pada umumnya, yaitu al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik). Konsep tersebut sekaligus menjadi titik simpul yang diusung dalam buku ini. Tidak hanya Gus Dur, Cak Nur pun sebenarnya bisa dikatakan memagang konsep dan kaidah yang dicanangkan ulama itu.

Dari sinilah Abdurrahman Wahid menekankan bahwa tantangan umat Islam saat ini adalah melakukan perubahan. Untuk itu, diperlukan proses kreatif yang dinamis dengan menjadikan warisan masa lalu sebagai dasar inspirasional, bukan dasar legal formal guna menemukan informasi Islam yang lebih sesuai dengan realitas sosiologis dalam kerangka ke-Indonesiaaan.

Urgensi dari reformulasi Islam sangat diperlukan dalam upaya menyesuaikan Islam dengan realitas kehidupan muslim yang berjalan dinamis dan beragam. Dengan dinamisasi itu, dimkasudkan agar terciptanya wajah dan sifar progresif Islam yang relevan dan dapat diterima. Gagasan-gagasan pemikiran Abdurrahman Wahid ini telah mengindikasikan adanya respons kalangan tradisionalis (NU) terhadap modernitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline