Lihat ke Halaman Asli

Abdul Aziz

Arsitek

Berat

Diperbarui: 7 April 2024   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berat peluang timnas U-23 lolos dari penyisihan group A . Lawannya Australia, Jordania dan Qatar adalah negara-negara kuat sepakbola ( _di Asia_). Sementara kita negara yang lemah sepakbola. Lihat saja peringkat kita ada di bawah 100. Itu ciri-ciri negara lemah. Kemudian lihat saja klub profesionalnya belum ada yang jadi juara di Asia. Belum lagi masalah dalam federasi yang tidak pernah selesai. Satu lagi banyak pemain naturalisasi yang main dalam timnas. Sementara pemain lokalnya cuma jadi cadangan.

Itu dari segi peringkat dan asesoris lainnya. Dari segi permainan juga sama. Main sepakbola dari dulu tidak berubah. Salah umpan, salah kontrol, terburu-buru itu sudah jadi pemandangan yang biasa. Heran ya main bola kok begitu. Apa tidak melihat orang Eropa main sepakbola. Santai, tenang, mikir. Tahu kapan waktunya menyerang dan tahu kapan waktunya bertahan. Juga tahu menciptakan peluang dari sisi lapangan bagian mana. 

Sepakbola itu science. Pemain-pemain kita juga sama berlatih seperti orang Eropa dan Amerika Latin berlatih. Tapi kok beda ya hasilnya. Apa pelatih-pelatih top kita kurang ( _iya kurang yang punya licensi A pro saja baru 23 infonya, yang grass root apalagi_). Atau mereka tidak memberi semua yang mereka punya kepada pemainnya. Atau ada faktor lain. Ini harus dicari sebab-musabab nya. Supaya cara main timnas bisa satu level dengan negara lain. Jangan bikin salah yang elementer lagi. 

Selama ini kan belum ada evaluasi dari pihak-pihak terkait kenapa sepakbola kita jalan di tempat. Seolah-olah peringkat kita dibawah seratus sudah puas. Kita kalah lawan Jepang dan Australia kemarin di Piala Asia senior biasa saja. Terus pemain-pemain kita yang sering salah umpan, salah kontrol belum jadi sesuatu yang membuat para mantan pesepakbola disini turun tangan. Semuanya kita terima dengan pasrah. Inilah kemampuan kita mungkin dikepala semua orang bola begitu.   

Sekali lagi sepakbola itu science. Bisa di analisa, bisa dicari sebab-musababnya kenapa kalah. Kemudian dicari solusinya. Apa karena pemainnya yang memang tidak berkwalitas, atau pelatihnya yang tidak memberi tahu soal taktik permainan tingkat tinggi. Atau apa. 

Dulu ketika Brazil kalah lawan Uruguay di Piala Dunia 50 rakyat Brazil semua menangis. Kemudian para stake holder mencari tahu sebab-musabab dan solusinya. Juga ketika Belgia yang sampai tahun 2000-an selalu kalah. Mereka mengadakan rapat nasional. Sama mencari tahu sumber masalahnya. Akhirnya mereka menemukan solusi sampai ke soal taktik permainan. Belgia tidak punya pola permainan yang seragam. Pelatih untuk grass root kurang. Sampai memutuskan memakai hanya satu striker itu juga hasil dari evaluasi. Brazil dan Belgia setelah itu bisa berbicara banyak di sepakbola. 

Atau kalau kita mau melihat contoh yang dekat Jepang. Mereka juga merevolusi sepakbolanya. Yang mereka lakukan adalah memperbaiki kompetisinya terlebih dahulu. Syaratnya semua klub yang berkompetisi di tingkat pro harus.lolos syarat-syarat yang ketat. Punya stadion sendiri. Punya fasilitas yang lengkap. Mereka mengejar kwalitas bukan kwantitas. 

Di Indonesia klub bisa ikut kompetisi pro meski tidak punya stadion sendiri. Tidak punya akademi, tidak punya talent scouting. Disini banyak dulu kwalitas nomor sekian. Akibatnya begini. Peringkat masih dibawah seratus. Lawan team kuat tidak pernah menang. Salah umpan, salah kontrol, terburu-buru jadi pemandangan yang biasa. Mau sampai kapan kita begini terus. Wassalam.*****)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline