Tuduhan terhadap Jokowi yang dianggap merusak demokrasi dan harus diadili jelas merupakan pernyataan yang kontroversial. Namun, menarik untuk dicermati pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang seolah lupa bahwa Jokowi lahir dari rahim PDIP dan memimpin Indonesia berkat dukungan partainya.
Pernyataan tersebut menjadi ironis karena PDIP sendiri berperan besar dalam perjalanan politik Jokowi, bahkan saat ia terpilih kembali pada 2019. Menyebutnya merusak demokrasi bertentangan dengan kenyataan bahwa demokrasi Indonesia justru tumbuh selama kepemimpinannya.
Jokowi, meski menghadapi berbagai tantangan dalam mengelola pemerintahan, tidak dapat dipisahkan dari kontribusi politik PDIP dalam membentuk wajah demokrasi saat ini.
Apakah Jokowi yang salah dalam mengambil kebijakan, ataukah PDIP yang gagal mendidiknya dengan nilai-nilai partai yang sejati? Sebagai partai yang telah mendukung Jokowi sejak awal, PDIP seharusnya memberikan arahan yang jelas dan konsisten. Jika ada kebijakan yang dianggap merusak demokrasi atau tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan demokrasi, tanggung jawab itu tidak hanya pada Jokowi, tetapi juga pada partai yang membesarkannya.
Dalam politik, pemimpin dan partai tidak dapat dipisahkan. Ketika ada kritik terhadap kepemimpinan, pertanyaan yang sama juga harus ditujukan pada partai yang melahirkan pemimpin tersebut.
Jokowi memulai perjalanan politiknya dengan bergabung dengan PDIP pada 2004 setelah sukses menjadi Wali Kota Solo. Keputusannya bergabung dengan PDIP sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme yang ia pegang. Jokowi mulai dikenal secara nasional setelah PDIP mencalonkannya sebagai gubernur DKI Jakarta pada 2012, dan kemudian sebagai calon presiden pada 2014, yang akhirnya membawanya menjadi Presiden.
Turut menentukan arah demokrasi indonesia pada saat ini, tuduhan terhadap Jokowi yang dianggap merusak demokrasi patut dipertanyakan, terutama ketika melihat konteks politik saat itu. PDIP, sebagai partai penguasa, memiliki peran besar dalam proses pemerintahan dan legislatif selama kepemimpinan Jokowi.
Jika ada kebijakan atau tindakan yang dianggap mengancam demokrasi, mengapa tidak ada upaya dari partai penguasa, dalam hal ini PDIP, untuk mengambil langkah politik yang lebih tegas di DPR? Sebagai partai yang memiliki kekuatan mayoritas, PDIP seharusnya bisa menjadi pengawal demokrasi dengan mengkritisi atau mengajukan alternatif kebijakan jika memang ada yang dinilai keliru.
Jadi, alih-alih hanya menyalahkan Jokowi, mungkin sebaiknya melihat lebih jauh pada dinamika internal partai dan peran legislatif yang turut menentukan arah kebijakan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H