Lihat ke Halaman Asli

Abdul Aziz

Wiraswasta

Efisiensi Anggaran vs Demokrasi, Menimbang Usulan Pilkada Oleh DPRD

Diperbarui: 16 Desember 2024   17:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.merdeka.com/politik/untung-rugi-kepala-daerah-dipilih-dprd-258156-mvk.html

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan pandangannya mengenai perubahan sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang selama ini dilakukan secara langsung oleh rakyat. Menurut Prabowo, pemilihan langsung menelan biaya yang sangat besar, dan ia mengusulkan agar Pilkada dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan sistem tersebut, menurutnya, negara bisa menghemat triliunan rupiah yang selama ini terbuang sia-sia, dan anggaran tersebut bisa dialihkan untuk kepentingan lain yang lebih mendesak.

Tentunya ini menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Di satu sisi, pemilihan kepala daerah oleh DPRD dapat mengurangi pemborosan anggaran yang terkait dengan Pilkada langsung. Setiap tahunnya, Pilkada langsung menuntut biaya yang sangat besar, mulai dari kampanye hingga logistik pemilu. Dengan mengurangi biaya tersebut, anggaran bisa difokuskan pada sektor-sektor yang lebih memerlukan perhatian, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Selain itu, sistem ini juga berpotensi memperkuat stabilitas politik dan pemerintahan yang lebih terpusat. Kepala daerah yang terpilih oleh DPRD diharapkan dapat bekerja lebih erat dengan legislatif, sehingga lebih fokus pada tugas pemerintahan daripada terjebak dalam persaingan politik elektoral yang menghabiskan banyak sumber daya.

Namun, di sisi lain, sistem ini tidak lepas dari kritik, terutama terkait dengan partisipasi rakyat dalam proses demokrasi. Pemilihan oleh DPRD berpotensi mengurangi representasi langsung aspirasi rakyat, karena keputusan akan lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik di tingkat legislatif. DPRD, yang anggotanya dipilih oleh partai politik, bisa menjadi arena untuk lobi-lobi politik yang lebih tertutup, yang justru menjauhkan rakyat dari kendali langsung atas pemilihan pemimpinnya. Hal ini bisa menurunkan legitimasi kepala daerah terpilih, yang lebih berhutang pada kekuatan politik di DPRD ketimbang suara rakyat yang langsung.

Saat ini, sistem demokrasi kita menghadapi tantangan besar, biaya pemilu yang semakin mahal dan rendahnya partisipasi publik. Fenomena ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan yang serius dalam proses demokrasi kita. Biaya kampanye yang tinggi sering kali membuat pemilu terasa lebih sebagai ajang untuk elite politik, bukan representasi sejati dari kehendak rakyat.

Sementara itu, rendahnya partisipasi dapat disebabkan oleh rasa jenuh atau ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada. Masyarakat mulai merasa bahwa demokrasi tidak lagi efektif untuk menciptakan perubahan berarti. Oleh karena itu, kita perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem ini, mencari solusi untuk menurunkan biaya politik, dan mengembalikan kepercayaan publik agar demokrasi bisa lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Dengan demikian, perdebatan mengenai pemilihan kepala daerah oleh DPRD ini menyoroti dilema antara efisiensi anggaran dan kebutuhan untuk menjaga demokrasi yang inklusif. Sistem yang lebih terpusat dapat memperkuat pemerintahan, namun harus dipastikan tidak mengorbankan hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Keseimbangan antara efisiensi, transparansi, dan partisipasi rakyat menjadi kunci dalam menentukan arah kebijakan politik ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline