Wacana penempatan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang digulirkan oleh PDIP, pada dasarnya adalah omong kosong yang tidak memadai dalam konteks reformasi kepolisian dan upaya menjaga independensi lembaga penegak hukum.
Menempatkan Polri di bawah Kemendagri justru akan membuka celah untuk intervensi politik yang lebih besar, mengingat Kemendagri adalah bagian dari kabinet pemerintah. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar kepolisian yang harus bebas dari pengaruh politik untuk menjalankan fungsi penegakan hukum secara adil dan tanpa bias.
PDIP telah memimpin pemerintahan selama lebih dari 10 tahun, lantas kemana aja waktu berkuasa, atau ini hanya merupakan ide spontan untuk menutupi kepanikannya berhadapan dengan pisau bermata dua, dulu saat berkuasa begitu beringas kekuasaan menggunakan tangan penegak hukum untuk menyingkirkan lawan politiknya, lantas saat tak lagi berkuasa mulai mengkambing hitamkan kepolisian hingga menyebutnya sebagai partai coklat.
Melalui isu jika kepolisan akan dibawah Kemendagri ini, sepertinya ada permainan trik politik de vide et impera, harapannya untuk merusak hubungan kepolisian dibawah pemerintahan Presiden Prabowo. Namun yang terjadi justru membuat stigma negatif terhadap PDIP semakin kencang apalagi ditengah ujian kinerja kepolisian dibawah kepemimpinan Kapolri Listiyo Sigit sedang menjadi sorotan terkait sepakterjangnya dalam memberantas kasus hukum seperti judol yang disinyalir telah melibatkan keponakan ketum PDIP Megawati.
PDIP seolah amnesia ketika berbicara tentang hubungan partainya dengan Polri dalam konteks penanganan lawan politik. Ketika PDIP memegang kekuasaan, mereka tampaknya lupa dengan masa lalu, di mana pada beberapa kesempatan Polri digunakan untuk menekan oposisi dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, seperti tuduhan makar.
Ingatlah bagaimana para aktivis dan politisi yang menentang pemerintah kerap kali dihadapkan dengan pasal makar, yang pada kenyataannya lebih banyak dipakai sebagai alat untuk meredam perlawanan politik daripada upaya untuk menjaga keamanan negara.
Tuduhan makar yang dilontarkan kepada lawan politik kerap kali tidak didasarkan pada bukti yang kuat, melainkan lebih pada kepentingan politik semata. Dalam situasi seperti ini, Polri yang seharusnya independen sering kali terperangkap dalam permainan politik dan dijadikan alat untuk menekan kebebasan berpendapat.
Ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang harus dihindari dalam negara demokrasi. PDIP, sebagai partai penguasa, seharusnya introspeksi diri dan tidak lupa bahwa mereka pernah berada di sisi yang sama, menggunakan aparat untuk kepentingan politik mereka.
PDIP kini tampaknya sedang mencari sensasi daripada menghadirkan solusi nyata dalam tata kelola negara. Terutama dengan langkah-langkah yang terkesan terus-menerus mengungkit hubungan partai dengan Polri, seolah PDIP, dan khususnya Megawati, yang paling berjasa dalam membangun hubungan tersebut. Namun, kenyataannya hubungan itu lebih bersifat politis dan berdasarkan situasi yang ada pada saat itu, bukan semata-mata hasil usaha dan kebijakan yang cemerlang dari PDIP.
Mengingatkan rakyat akan "jasa" PDIP terhadap Polri adalah upaya untuk menutupi kenyataan bahwa hubungan itu lebih berbasis pada kepentingan politik, bukan kebijakan reformasi yang benar-benar memperkuat independensi Polri. Sebuah pengingat bahwa meski situasi politik bisa berubah, PDIP sebaiknya mulai menilai ulang langkah-langkahnya untuk tidak terjebak dalam sensasi dan mulai berfokus pada kebijakan yang memperkuat demokrasi dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H