"Saya bukan orang asli Papua. Tapi saya bangga dengan produk dan orang Papua. Mutiara adalah hal paling tepat untuk menggambarkan Papua. Noken salah satunya." Alka
Papua, saya selalu rindu padanya. Budaya yang tiada dua. Keindahan alam tanpa penolakan. Lautan lepas penuh dengan harapan. Langit biru yang syahdu. Orang-orang ramah dengan sejuta kebaikan. Rasanya saya telah jatuh cinta dengan Papua.
Sejuta kata mungkin tak mampu menggambarkan keindahan Papua. Jika Indonesia memiliki surga, salah satunya adalah Papua. Terlepas dari konflik yang sedang hangat. Tambang-tambang yang jadi rebutan. Papua tetaplah keindahan bagi saya.
Salah satu keindahan papua adalah Noken Papua. Tas tradisional yang hampir seluruh wanita pedalaman Papua memilikinya. Noken bukan hanya sekedar tas. Bagi masyarakat asli Papua, Noken memiliki nilai budaya, sosial, ekonomi dan harapan besar serta kebanggaan.
Noken memiliki nilai filosofis yang luar biasa. Hubungan harmonis antara alam dan manusia. Tentang kearifan dan kesetaraan. Muridan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pernah menjelaskan bahwa, Noken bagi wanita adalah penutup punggung yang juga memiliki tempat untuk menaruh barang.
Dalam sejarahnya, beberapa ahli sepakat bahwa Suku Dani adalah suku pertama di Papua yang membuat Noken. Zaman telah berkembang, kini Noken tidak hanya dipakai oleh wanita, para pria juga sering menggunakannya.
Saat saya di Papua, saya sempat berkunjung ke salah satu toko penjual Noken. Sempat berdialog, ia menjelaskan bahwa Noken juga ciri khas budaya pegunungan tengah Papua. Bahasa asli pegunungan menyebut Noken adalah eweh suh, khususnya di lembah Baliem.
Dalam proses pembuatannya, tas ini dibuat dengan jaring rajutan. Bahan dasarnya adalah serat kayu dan daun. Kerajinan tangan ini cukup rumit pembuatannya. Butuh proses yang cukup panjang. Noken terkenal dengan tahan lama, awet, dan tidak mudah rusak.