Lihat ke Halaman Asli

Abdulazisalka

Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Walau Buruk Rupa yang Penting Selamat

Diperbarui: 24 November 2020   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kredit foto: lenterainspiratif

Baca cerita sebelumnya disini:
Bagian 1 Ada Ludah di Kopi, Bukan Cinta
Bagian 2 Dikejar Utang, Suami Hilang

Sebenarnya hati Tika telah patah dan jatuh berkali-kali. Tentu tak hanya soal lelaki, ternyata dunia seakan berkomplot membuat kemalangan bagi dirinya dan hidupnya. Kata orang dulu, konon cinta pertama seorang anak perempuan adalah bapaknya, Tika tak demikian dihidupnya. Tika telah lama yatim piatu, ia tinggal bersama bibi dan pamannya.

"Punya ponakan seperti anak, tapi tak berguna. Kamu itu bisa kasih apa untuk aku dan Tutut?"

Kata-kata yang tajam itu, berulang kali menyayat hati Tika. Sering kali Fajar berkata seperti itu saat meminta uang pada Tika, namun tak diberi. Dalam benaknya, ia ingin menghitung apa yang sudah ia lakukan selama ini, membayar listrik, uang sampah, dan berbagai macam lainnya yang sedangkan itu adalah tanggung jawab pamannya. Kalimat kasar yang sering diucapkan pamannya, telah menorehkan luka pada hati Tika.

"Hei ka, kalau saja kamu itu cantik, kamu bisa dapat suami kaya, dan pasti kita bisa berharap padanya. Coba lihat saja dirimu, dekil. Jelek begitu!"

Kalimat itu juga selalu mengoyak hati dan meruntuhkan percaya diri. Benaknya telah terkurung pada ruang-ruang gelap tak berpintu dan berjendela. Tika seharusnya tumbuh mekar layaknya gadis-gadis seusianya. Namun, Fajar berulang kali memupus tunas-tunas yang akan tumbuh.

***

Sementara itu Fajar, di warung kopi lorong sempit kota sebelah..

Warung itu tenar betul, meski tersembunyi pada lorong-lorong sempit di tengah-tengah area industri. Beroperasi dua puluh empat jam karena sang pemilik warung juga tinggal di dalamnya. Ternyata dulu warung itu hanyalah rumah. Merantau dari daerah jauh, seorang janda menyewa rumah berdinding kayu itu.

Mak Eti, demikian janda itu dipanggil. Demi sebongkah berlian dan demi sesuap nasi, teras rumah ia sulap menjadi warung kecil. Kursi-kursi bambu, bersama meja panjang tempat ia menaruh cemilan dan minuman menghiasi warung itu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline