"Excited" sendirian memang tidak baik dan menyakitkan. Itu menyebabkan saya patah atau hilang semangat. Namun terkadang, hal itu bisa membuat saya menjadi lebih kuat untuk menjalani kehidupan dalam berorganisasi maupun bersekolah di perguruan tinggi.
Hilangnya kader(anggota) satu-persatu di korp Antasena dalam organisasi PMII Humaniora Park, membuat saya dan "sahabat-sahabati" saya bertanya-tanya mengapa mereka pergi? Kemana mereka pergi? Mengapa mereka meninggalkan kami? Dan bagaimana mereka bisa hidup tanpa PMII?
Istilah seleksi alam, sudah menjadi budaya dalam organisasi PMII. Kader-kader yang sudah dibaiat saat Pelatihan Kader Dasar (PKD) mulai terseret arus pendidikan yang buruk, kurikulum yang ambigu, dan budaya belajar yang sering jam kosong (tidak ada dosennya). Mereka mulai menghilang dari lane(PMII) disaat deklarasi, makrab, RTAR, RAKER sampai dengan kepanitiaan terakhir yang wajib yaitu, PKD untuk mahasiswa baru atau kader awal. Yang mana, saat-saat itu merupakan arena dalam menyuarakan aspirasi dan perubahan. Mereka menghilang dikarenakan organisasi kurang mampu mewadahi minat bakat yang mereka miliki dengan objektif yang baik. Namun organisasi dapat memberikan ruang untuk berproses di segala bidang walaupun tidak fokus pada objek tertentu. Seperti saat kepanitiaan deklarasi saya menjadi divisi perlengkapan, RAKER menjadi konsumsi, kemudian PKD menjadi publikasi dan dokumentasi(PDD).
Disaat kami berproses dalam kepanitiaan organisasi dengan berkurangnya kuantitas SDM yang semakin terkikis di dalam korp Antasena, saya mendapatkan pengertian bahwa; Kami(kader-kader) yang masih aktif dan setia, berproses lebih lama, mendapatkan pengalaman yang tidak dimiliki oleh mereka yang menghilang dari lane serta menjadikan kualitas SDM kami sedikit lebih baik. Sebab perjalanan kami selama di korp(organisasi), membuat skill, pengalaman, dan portofolio(CV) kami lebih unggul. Oleh karena itu institusi-institusi bisa menerima kami dengan mudah. Hal itu terjadi saat dilakukannya wawancara atau interview, kami menceritakan pengalaman-pengalaman yang telah kami lakukan selama ada di organisasi, seperti contoh saat kepanitiaan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan(PBAK) Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora 2024 sekitar 2 bulan yang lalu yang mana kepanitiaan ini sangat berkompeten dan diinginkan juga dinanti-nantikan oleh beberapa mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menurut saya, pengalaman ini merupakan contoh tentang teori neofungsionalisme yang dikatakan oleh Jeffrey C. Alexander karena struktur tidak selalu stabil dan memungkinkan terjadinya konflik yang disebabkan oleh tidak adanya konformitas dan niat/tujuan yang sama. Teori ini juga mengakui bahwa konflik dapat memiliki peran positif dalam memajukan perubahan sosial dan budaya. Individu dianggap tidak hanya sebagai bagian-bagian yang patuh terhadap struktur, tetapi juga sebagai agen yang dapat berkontribusi pada perubahan.
Analoginya seperti ini; Seandainya dalam struktur keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sebagaimana "biasanya" fungsi ayah itu menjadi kepala keluarga dan mencari nafkah/rezeki, sementara ibu berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah tangganya seperti memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Kemudian ketika ayah meninggalkan keluarga (terjadi perceraian), yang diketahui bahwa peran ayah tidak lagi berfungsi. Dan mau tidak mau sosok ibu menggantikan peran ayah dengan menjadi kepala keluarga (di kartu keluarga) dan mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Kemudian di dalam organisasi itu sendiri yang terdiri dari pimpinan dan anggota itu sama seperti analogi yang saya jelaskan di paragraf sebelumnya. Pimpinan memang memiliki otoritas dan kebijakan. Namun anggota bukan agen yang tak bisa lepas konflik. Mereka bisa patuh/ tidak dan "menghilang dari lane" atau pergi meninggalkan organisasi. Akan tetapi, mereka juga dapat berkontribusi dan menggerakkan perubahan disebabkan hilang/perginya beberapa dari mereka yang akan membuat "mereka yang tersisa" menggantikan fungsi dan peran dari "mereka yang hilang".