Setelah ku baca habis enam puluh dua bab novel Asmaraloka karya Danarto, aku masih menangkap kesan yang sama dari novel dan cerpennya yang dulu-dulu. Tetap absurd dan tidak masuk akal, dengan setting yang gelap. Mungkin kesannya tidak bersetting sejarah dan seperti dunia khayalan, tapi aku tahu Danarto bercerita tidak asal bercerita. Soal setting biar saja imajinasi pembaca yang bicara.
Ada satu kesan yang menarik dari dialog-dialog yang coba diungkap dalam novel tersebut yaitu tentang ajaran sufisme yang kental. Terlontarlah ide (dan ini sebenarnya bukan hal baru), bahwa manusia adalah tuhan itu sendiri. Menarik sekali Danarto, berani mencoba mengungkap kembali hakikat dari keberadaan kemanusiaan manusia. Ternyata kita adalah Tuhan, seperti yang pernah diucapkan Halaj, ana al haq atau Syekh Sidi Jenar, aku adalah gusti pangeran. Keduanya mati divonis dalam sidang majelis yang mulia para ulama, karena dianggap menyesatkan dan membingungkan umat.
Logika sufistik dan logika umat jelas berbeda, apalagi yang berhubungan dengan konsep ketuhanan manunggaling kawula gusti. Ada suatu pendapat yang menengahi, bahwa apabila manusia sudah bisa sampai ke sana, cukup diketahui oleh pribadi itu sendiri dan tidak perlu disebar luaskan, karena logikanya memang berbeda.
Sejarah memang mencatat ternyata konsepsi ketuhanan adalah masalah yang pelik untuk dibicarakan. Dan Asmaraloka mencoba menangkap itu jadi bumbu yang menarik untuk dikaji dan direnungkan.
* Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H