Lihat ke Halaman Asli

Abdul Rojak

Membaca adalah hiburan, menulis adalah pelepasan ide dan gagasan

Bibit, Bebet, Bobot

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada seorang anak sebut saja namanya Maria, bapaknya seorang kulit hitam sedangkan ibunya kulit putih, dan jadilah Maria blasteran, tidak hitam juga tidak putih. Ada seorang anak sebut saja namanya Dimas, bapaknya berkulit coklat gelap mendekati hitam, sedangkan ibunya putih bersih dan jadinya Dimas mengikuti genetic bapaknya yang berkulit coklat gelap mendekati hitam. Sedangkan kakak perempuannya, Deta lahir dengan kulit putih bersih. Ada seorang anak sebut saja namanya Hasan, bapaknya cerdas berpendidikan tinggi, sedangkan ibunya memiliki kemampuan rata-rata dan biasa, pendidikannya pun hanya tingkat menengah, jadilah Hasan memiliki kemampuan yang juga sama seperti ibunya, sedangkan kakaknya Husein mengikuti genetic bapaknya. Dan banyak lagi contoh turunan genetic yang semuanya bermuara pada satu pepatah, “Buah pasti jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Bagaimana dengan anda sendiri ? mengikuti genetic Bapak atau Ibu ? Istilah ini bibit, bebet dan bobot dalam bahasa Jawa , menyatakan bahwa apabila seseorang ingin menikah maka dari pasangannya ia harus melihat visi tersebut. Secara maknawi, arti bibit yaitu rupa (harafiah: asal-usul, keturunan). Arti bebet adalah keluarga, lingkungan, dengan siapa teman-temannya. Arti bobot adalah nilai pribadi/diri yang bersangkutan, disini termasuk kepribadian, pendidikan dan kepintarannya, pekerjaan juga nilai pribadi seperti gaya hidup dan IMAN. Dalam tradisi masyarakat Jawa yang melestarikan pencarian jodoh untuk anaknya dengan visi Bibit, Bebet dan Bobot, sesunguhnya merupakan kelanjutan dari budaya Hindu yang mengklasifikasikan masyarakat dengan system Kasta. Dimana dalam system kasta berlaku ketentuan bahwa, masing-masing kasta hanya boleh bergaul dan menikah dengan sesama kasta. Walaupun pada awalnya system Kasta dalam budaya hindu diperuntukan sebagai pemisahan profesi, namun hal tersebut pun berimbas pada pemilihan jodoh dan jenis keturunan yang akan melanjutkan kasta tersebut. Maka lazim dalam masing-masing kasta itu mereka hanya “bercampur” dengan sesama kastanya, dan tidak boleh melompat antar kasta. Kalaupun ada lompatan kasta biasanya hanya terjadi pada dua teratas dan dua terbawah, misalnya kasta Ksatria (raja/pemimpin negara, aparatur negara, prajurit/angkatan bersenjata) dengan Brahmana (Rsi, Pedanda, Pendeta, Pastur, Kyai dan pemuka-pemuka agama lainnya, Dokter, Ilmuwan, Guru dan profesi yang sejenis dapat digolongkan kedalam Varna Brahmana). Sedangkan kasta Waisya (pedagang, petani, nelayan, pengusaha, dan sejenisnya) dengan Sudra (pembantu rumah tangga, buruh angkat barang, tukang becak dan sejenisnya). Dan menurut para analis sejarah itu diberlakukan oleh bangsa Arya agar dua kasta teratas (berasal dari Ras Arya) tidak bercampur dengan dua kasta terbawah (Ras Dravida). Sekilas memang budaya ini seperti memarjinalkan satu manusia dengan manusia yang lain, tapi kalau kita ambil sisi positif dengan visi Bibit, Bebet dan Bobot (sistem Kasta) dalam memilih jodoh atau pasangan hidup, ada beberapa hal yang memang layak kita pertimbangkan sebagai pegangan dalam memilih pasangan. Sistem kasta (bibit, bebet, bobot) dengan pelestarian ras, genetic dan bobot dari keturunan merupakan bentuk kontrol agar kualitas anak (keturunan) menjadi lebih baik, melebihi kualitas dari orang tua sebelumnya, paling tidak sama dengan ”cetakan aslinya”.  * Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline