Lihat ke Halaman Asli

Skripsi Dihapus, Pola Pikir Jadi Pragmatis

Diperbarui: 28 Maret 2018   19:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam beberapa waktu terakhir, muncul sebuah kabar dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang cukup mengejutkan. Pemerintah rencananya akan menghapus skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa strata satu. Skripsi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya.

Desas-desus penghapusan skripsi berembus karena maraknya penjualan ijazah palsu oleh beberapa perguruan tinggi. Sayangnya, rencana ini tak begitu saja disambut hangat oleh masyarakat luas. Sebagian menyetujui, sedang lainnya menolak. Ide untuk menghapuskan skripsi sudah diawali sekitar tahun 1997. Kala itu kontoversi pun tak kalah ramai dengan hari ini. Pihak yang pro maupun kontra masing-masing mampu memberikan argumen cukup kuat. Kontroversi baru berakhir setelah keluarnya Permen (Peraturan Menteri) tahun 2000 yang menyatakan skripsi hanya menjadi pilihan.

Sejatinya setelah dikeluarkan Permen tahun 2000, seharusnya skripsi tak lagi menjadi syarat kelulusan seorang mahasiswa, tetapi dalam praktik lapangannya masih banyak perguruan tinggi yang mewajibkan, baik itu negeri maupun swasta. Hanya UI (Universitas Indonesia) menurut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prof. H. Mohammad Nasir, Ph.D., Ak yang tidak mewajibkan mahasiswanya mengerjakan skripsi dan hasilnya sarjana yang dihasilkan baik-baik saja.

Polemik penghapusan skripsi mendapat beragam reaksi dari berbagai kalangan. Mahasiswa, dosen, bahkan rektor pun tak luput mengomentari hal tersebut. Rektor Universitas Andalas Prof. Dr. H. Werry Darta Taifur, S.E., MA kontra terhadap polemik ini. Beliau berpendapat bahwa yang membedakan Sekolah Menengah Atas dengan perguruan tinggi adalah penelitian dan pengabdian, yang merupakan bagian dari Tri Dharma perguruan tinggi. Jika penelitian itu dihilangkan, roh Tri Dharma Perguruan Tinggi akan kabur.

Lain Rektor Universitas Andalas, lain pula Rektor Universitas Lampung. Meski sama-sama memimpin perguruan tinggi di Pulau Sumatera, Rektor Universitas Lampung Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitna Harianto, M.S mempunyai pendapat berlainan. Ia menyatakan bahwa sejak awal dia sudah sepakat bahwa skripsi bukan satu-satunya syarat lulus. Namun, hal itu terkendala peraturan akademik di Universitas Lampung yang masih mewajibkan skripsi untuk kelulusan semua mahasiswa. Alasan beliau sederhana tidak ingin ada lagi mahasiswa yang terhambat kelulusannya bahkan sampai drop out gara-gara skripsi.

Hal senada juga disampaikan Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Ia menyampaikan bahwa ia sependapat dengan wacana Menristek dan Pendidikan Tinggi. Sebagai gantinya bisa saja diberikan opsi lain, misalnya laporan spesifik dari tugas lapangan atau pengabdian masyarakat. Selain itu, mahasiswa juga bisa menyusun laporan hasil penelitian laboratorium, khususnya bagi mahasiswa program atau bidang eksak. Mantan Rektor UII (Universitas Islam Indonesia) itu berharap agar pemerintah mau mengkaji penghapusan skripsi lebih lanjut agar segera diterapkan.

Dari banyaknya pendapat yang disampaikan para ahli, baik pro dan kontra, penulis lebih memilih tidak setuju jika skripsi dihapuskan. Pemerintah terlalu dini mencanangkan hal tersebut. Ada baiknya memang pemberantasan mafia skripsilah yang harus dilakukan jika memang adanya penjualan skripsi menjadi alasan. Pastilah bukan hal sulit untuk memberantas mafia skripsi jika dilakukan secara sungguh-sungguh. Hanya saja, pemerintah tak memiliki tindakan tegas.

Selain pemerintah, pihak kampus juga seharusnya memberikan sanksi yang berat bagi oknum dosen yang hobi menjual skripsi. Jangan sampai pihak kampus menjadi malaikat pelindung demi menjaga citra kampus atau memang ada perselingkuhan antara pejabat kampus dan sang oknum hingga para pelaku dibiarkan begitu saja.

Skripsi sebenarnya memiliki banyak manfaat bagi mahasiswa, salah satunya ialah menjadikan mahasiswa akrab dengan kegiatan penelitian. Proses penulisannya yang benar-benar serius melatih mahasiswa agar disiplin tak pantang menyerah. Bisa dibayangkan bila skripsi musnah dari muka bumi, tak kan ada lagi mahasiswa yang memiliki kemampuan menulis dan pola pikir sistematis. Tersisalah mahasiswa-mahasiswa pragmatis.

Ketakutan pemerintah terhadap ijazah palsu maupun skripsi yang diperjualbelikan memang sudah sewajarnya, tetapi pemerintah tak seharusnya langsung menghapus skripsi. Ibarat kata, jika ingin mencari tikus, jangan membakar lumbung padi. Masalah baru akan bermunculan. Siapkah pemerintah menanggungnya atau akan menyelesaikannya dengan masalah baru?

Bila kita mau berpikir lebih rasional serta arif, permasalahan adanya praktik jual-beli skripsi dapat diselesaikan dengan mudah. Tinggal kerja sama dari banyak pihak seperti mahasiswa dan para pejabat kampus. Pemerintah bukanlah kekasih perguruan tinggi yang bisa memberikan perhatian 24 jam penuh. Segala bentuk kecurigaan terhadap praktik jual-beli skripsi sesegera mungkin dilaporkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline