Setiap tahunnya jumlah kekerasan terhadap anak terus saja mengalami peningkatan. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) melansir data pada tahun 2010-2014 telah terjadi 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak yang tersebar di 34 propinsi 179 kabupaten/kota. 42-58% dari jumlah pelanggaran hak anak terdapat pada kasus kekerasan seksual. Sisanya adalah kasus kekerasan fisik dan penelentaran anak.
Tingginya kasus kekerasan terhadap anak menandakan masyarakat kita tidak terlalu menyayangi anak-anak dengan baik. Anak-anak kadang dijadikan obyek pelampiasan kemarahan setelah konflik atau masalah yang dialami para orang tua. Bentuk fisiknya yang lemah memang boleh dikatakan sebagai sasaran empuk kekerasan. Jelas anak-anak tak memiliki daya untuk melawan orang-orang yang kerap menyiksanya.
Selain kekerasan fisik, anak-anak kebanyakan menjadi korban kekerasan seksual. Ada yang dicabuli, disodomi, dan bahkan dihamili. Anehnya para pelaku justru kadang berasal dari lingkungan keluarga sendiri. Direktur Komunikasi Indonesia Indicator (I2) Rustika Herlambang pernah memaparkan hasil kajiannya bahwa pelaku kekerasan terhadap anak masih didominasi oleh orang tua dan guru. Antara orang tua dan guru, orang tua mendapat posisi teratas sebagai pelaku kekerasan dibanding dengan guru. Inilah potret kelam anak-anak Indonesia. Keluarga yang semestinya melindungi justru berubah fungsi menjadi menghabisi.
Sungguh tragis nasib anak-anak kita belum lagi mereka tumbuh dewasa menikmati indahnya dunia mereka sudah harus menghadapi cobaan yang berat bahkan sampai pada kematian. Memang pemerintah telah berusaha melindungi anak-anak melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak tetapi sayangnya Undang-Undang tersebut diacuhkan oleh para calon pelaku kekerasan anak. Mungkin karena hukumannya tidak terlalu berat yakni dipidana paling lama 15 tahun penjara. Nafsu maupun emosi telah menghilangkan akal sehatnya hingga tak ada lagi rasa kemanusiaan dalam dirinya dan ketakutan akan hukuman yang mendera.
Sampai hari ini pemerintah belum menetapkan tindakan kekerasan pada anak sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime hingga akhirnya para pelaku tidak akan mendapat hukuman mati sebagaimana pelaku korupsi, narkoba, dan terorisme. Padahal menurut hemat penulis kekerasan terhadap anak sudah seharusnya dikategorikan sebagai extra ordinary crime. Ini jelas bahwa setiap anak yang menjadi korban kekerasan akan menderita trauma berkepanjangan yang bisa saja merusak masa depan sama seperti narkoba.
Trauma yang akan dialami oleh korban kekerasan biasanya terbagi menjadi dua yakni trauma fisik dan trauma psikologis. Secara sederhana trauma fisik adalah luka yang membekas pada tubuh . Sedang trauma psikologis menurut Wikan Susanti (2011) adalah jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada gangguan stres pasca trauma, kerusakan mungkin melibatkan perubahan fisik di dalam otak dan kimia otak, merusak kemampuan seseorang untuk memadai mengatasi stress.
Ketika seorang anak mengalami trauma maka segala aktifitas dan kehidupannya terganggu. Anak-anak seharusnya menjalani kehidupannya dengan hati yang riang tak boleh sedikitpun ada beban maupun stress baginya. Segala gangguan-gangguan yang ada dapat menyebabkan anak menjadi depresi, pendiam, dan ada juga yang kadang bunuh diri. Inilah efek terberat dari kekerasan, traumatik sulit untuk dihindari. Bila trauma mulai dirasakan maka masa depan terasa jauh dari harapan.
Mulai dari sekarang tindakan kekerasan pada anak harus benar-benar dihentikan. Terkadang orang tua beralibi demi melatih kedispilinan maka anak-anak harus dipukul. Mendidik anak-anak seharusnya dengan perasaan, didiklah mereka dengan cinta dan kasih sayang bukan dengan rotan atau ikat pinggang.
Kekerasan demi kekerasan baik fisik maupun seksual dapat terus terjadi karena banyaknya pihak yang memilih bungkam. Ada tetangga yang tak ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga orang ada pula keluarga yang takut akan ancaman si pelaku. Masyarakat seharusnya jeli dan bersikap arif, segala bentuk kekerasan yang terjadi harus sesegera mungkin dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Jangan sampai ketika sudah puas mencium bangkai baru dilaporkan. Sikap koperatif sangat dibutuhkan demi membasmi kekerasan terhadap anak. hari ini dan seterusnya jangan sampai ada lagi kita berita kekerasan-kekerasan berikutnya.
Kekerasan tak pernah menghasilkan kebaikan justru hanya akan menambah masalah dan penderitaan. Bagi seorang anak kasih sayang adalah mutlak diinginkan. Kehangatan dilingkungan keluarga dapat menjadikan tumbuh kembang seorang anak menjadi maksimal.
Anak-anak kita adalah anugrah dari Tuhan yang maha esa. Banyak sekali orang yang tak diberi kesempatan untuk menjadi orang tua kandung hingga terpaksa mengadopsi anak. kebahagiaan memiliki anak melebihi kebahagiaan memiliki uang yang banyak maka syukurilah. Berilah mereka ruang untuk tertawa dan bercanda riang dan rasakan sebentuk kebahagiaan meresap dalam jiwa.