Nyaring terdengar di telinga masyarakat, tindakan kekerasan demi kekerasan yang terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu kasus penganiayaan ulama di Cicalengka (27/1), kemudian terbaru kasus yang menghebohkan jagat pendidikan, yaitu penganiayaan yang menimpa seorang guru di sebuah SMA di Kabupaten Sampang, Jawa Timur (1/2). Kejadian tersebut menyisakan sejuta tanya, benarkah pendidikan Indonesia telah gagal mengimplementasikan pendidikan karakter, terutama karakter humanis dan cinta damai? Apa gerangan yang menjadikan seorang siswa tega menganiaya gurunya sendiri yang seharusnya dihormati dan dimuliakan?
Pendidikan "Belum Bertaring"
Adalah Achmad Budi Cahyanto, seorang guru honorer mata pelajaran kesenian di SMAN 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur harus meregang nyawa akibat perbuatan siswanya sendiri. Tidak disangka, hari itu (1/2) menjadi hari terakhir bagi Pak Guru Budi untuk bersua dan bercengkrama dengan murid-muridnya sebelum siswa berinisial HI mendaratkan pukulan pada pelipis Pak Guru Budi yang berujung maut setelah sempat dirujuk ke RS. Dr. Soetomo, Surabaya. Hari itu dunia pendidikan tercoreng, pendidikan sebagai garda terdepan internalisasi pendidikan karakter harus mengalami kenyataan pahit, melahirkan anak dengan watak keras dan tidak berkarakter.
Derasnya arus globalisasi telah menerjang dan mempengaruhi setiap sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Era global dengan internet sebagai garda terdepannya menjanjikan segala kemudahan. Di antaranya distribusi informasi dan komunikasi yang berjalan cepat. Melalui media komputer atau gawai segala keinginan bisa terpenuhi secara online, dari sekadar ingin tahu kabar berita terbaru, membaca buku, kebutuhan transportasi, makanan, sampai jasa pijat (massages), semua tersaji dalam genggaman.
Namun di sisi lain, efek globalisasi diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatifnya memiliki konsekuensi yang seimbang. Selain dampak positif di atas, kompetisi, integrasi, dan kerjasama adalah contoh dampak positif lainnya, sedangkan dampak negatifnya antara lain lahirnya generasi instan, dekadensi moral, konsumerisme, bahkan permisifisme (Jamal Ma'mur Asmani, 2012). Dampak negatif lainnya adalah maraknya tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, seks bebas, dan kriminalitas (Barnawi & M. Arifin, 2013).
Kejadian yang dialami Pak Guru Budi bisa jadi merupakan generasi zaman now yang menjadi korban konten kekerasan dalam berbagai media di era global ini. Misalnya melalui game, beberapa waktu lalu viral mengenai sebuah game yang menyajikan kekerasan yang memakai tokoh guru dan murid, di mana seorang murid membunuh guru dengan berbagai peralatan yang tersedia seperti buku, vas bunga, kursi, obat serangga, dan lainnya. Belum lagi pada game lain seperti free fire, clash royale, mobile legend, dota, dan lainnya semuanya menyajikan konten yang berisi kekerasan dan pembunuhan. Ironisnya lagi, game-game tersebut sangat diminati anak, remaja, bahkan dewasa.
Pendidikan Indonesia dewasa ini belum mampu menyentuh dan membentengi peserta didik terhadap berbagai fenomena kemajuan teknologi tersebut. Guru-guru yang kebanyakan sudah tua dan gagap teknologi, meskipun tidak semua, memperparah kondisi ini. Belum lagi sistem pembelajaran yang monoton masih pada transfer of knowledge semata menjadikan peserta didik hanya pintar saja, namun kurang berkarakter. Sehingga optimalisasi aspek psikomotorik dan afektif menjadi penting untuk ditekankan kembali sebagai bentuk transfer of values. Pada akhirnya diidealkan terbentuk peserta didik yang sinkron antara pengetahuan, ucapan, dan tindakannya.
Keberhasilan pendidikan hanya diukur melalui angka-angka hasil ujian pada nilai rapot, padahal angka tersebut sama sekali tidak merepresentasikan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Intinya tidak hanya mewujudkan peserta didik yang pintar saja, tetapi lebih dari itu menjadikannya berakhlak dan berkarakter.
Membumikan Kembali Pendidikan Karakter
Lalu muncul pertanyaan siapakah yang sebenarnya layak dipersalahkan dalam tragedi yang menimpa Pak Guru Budi? Tentu ini pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan begitu saja. Terdapat rentetan panjang yang harus ditelusuri dalam kasus tersebut. Namun, hemat penulis menjadi hal yang mubadir untuk saling salah menyalahkan, toh Pak Guru Budi tidak akan kembali ke dunia lagi, yang terpenting adalah refleksi bersama agar kasus serupa tidak terulang. Refleksi dari peserta didik maupun guru sebagai pendidik. Dalam ranah pendidikan, yang terpenting adalah bagaimana seorang peserta didik dan guru untuk mampu menempatkan diri sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.
Mengamati betapa ganasnya dampak globalisasi, maka diperlukan sebuah formula baru dalam meminimalisir berbagai tindakan kekerasan yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan oleh peserta didik maupun guru. Diperlukan sebuah rekonstruksi agar pendidikan benar-benar mampu mencetak peserta didik yang berilmu dan berkarakter.