Lihat ke Halaman Asli

Ekonomi Indonesia: Berdiri Diatas Reruntuhan Kolonial

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suka atau tidak, konstitusi kita UUD 1945 meng-amanat-kan negara Indonesia dibangun dalam spirit sosialisme Indonesia. Model ekonomi yang dikembangkan menempatkan negara sebagai mandataris pelaksana, tapi arah gerak pembangunan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.

Tapi sungguh tragis, hari ini kita temukan mayoritas rakyat masih miskin. Tentu kemiskinan soal yang lumrah, tapi jika terjadi dalam rentang waktu panjang dan dinegeri kaya sumber daya alam, kita perlu melihat lebih dalam lagi. Cukup banyak kesimpulan untuk soal ini. Mulai dari optik struktural hingga problem mentalitas khas dimunculkan seolah sebagai argumen final.

Secara historis, kolonialisme Belanda mewariskan masyarakat yang sudah dihancurkan sebagian struktur, akses ekonomi dan mental wirausahanya. Dizaman kolonial aktifitas ekonomi hanya digeluti oleh korporasi swasta asing, pemerintah Hindia Belanda, pengusaha Tionghoa, dan segelintir kaum pribumi.

Sebagian besar rakyat hanya menjadi buruh. Siang mereka dipaksa bekerja tanpa kenal lelah, dan malam hari ditenangkan dengan menggunakan opium. Ini adalah modus khas mempertahankan loyalitas kerja kaum pribumi. Undang-undang kewarganegaraan Belanda telah mengunci ruang gerak ekonomi pribumi hanya pada sektor bawah.

Realitas ini mendorong segelintir priyayi, kaum terdidik, dan pedagang lokal untuk mengorganisasikan diri lebih rapi dengan melibatkan rakyat sebagai anggotanya. Tahun 1909, Haji Samanhoedi membentuk perkumpulan Rekso Rumekso. Beranggotakan pedagang batik bumiputra diwilayah Karesidenan Surakarta.

Meski niat awalnya untuk mengimbangi Kong Sing, organisasi pedagang cina yang menguasai bahan baku batik, namun dalam perkembangannya perkumpulan ini menjadi inspirasi bagi pribumi untuk meningkatkan harkat sosial. Pada tahun 1911, lahirlah sarekat dagan islam(SDI). Disini Raden Mas Tirtoadisoerjo punya peranan penting.

Satu tahun sesudahnya, Muhammadiyah berdiri bulan Desember 1912. Awalnya organisasi yang digawangi oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan ini bercorak gerakan sosial keagamaan semata. Namun lambat laun ikut merambah gerakan ekonomi yang cukup massif. Tahun 1916, 47 persen anggota Muhammadiyah adalah pedagang, 18,1 persen pamong praja, dan hanya 12,1 persen ulama.

Mereka membentuk JAMIAH(jaringan ekonomi muhammadiyah), dan mulailah Muhammadiyah berdiri disejumlah kota seperti Pekajangan, Pekalongan, Laweyan, Solo, Kudus, dan Kediri. Gerakan ini terus meluas hingga keluar jawa, misalnya ke Sumatera Barat.

Tahun 1918 berdirilah Nahdlatut Tujjar(NT) organisasi pilar awal sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama(NU, 1926). Tiga kyai dari Jombang, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syansuri pemrakarsanya. NT didirikan sebagai bentuk kritik tajam atas lemahnya posisi tawar para pendakwah agama saat itu karena miskin secara ekonomi.

Koperasi Al ’Inan dibentuk dengan 45 orang pemegang saham. Total modal awal 1.175 gulden terkumpul dari 45 anggotanya. Inilah fondasi awal semangat gerakan ekonomi dari Nahdlatul Ulama.

Politik Ekonomi

Saat arus politik kebangsaan mengental sesudah sumpah pemuda oktober 1928, terjadi perubahan dalam orientasi gerakan. SI, Muhammadiyah, dan NU menitikberatkan gerakan politik sebagai kristalisasi perjuangan merebut kemerdekaan. Terjadi kemunduran pada beberapa titik, akibat tersedot penuh oleh aktifitas politik. Pasca kemerdekaan fakta ini mulai terasa.

Formasi SDI berubah menjadi Sarekat Islam dan menjadi PSII. Setelah kemerdekaan, aktifitas politik tetap dominan dan tidak berjalan seiring konsolidasi ekonomi. Upaya perbaikan ekonomi nasional coba dijalankan oleh pemerintahan Soekarno lewat berbagai cara.

Tahun 1949-1959 Bung Karno melaksanakan politik-ekonomi Benteng untuk mendorong kaum pribumi mengkonsolidasikan diri. Pemerintah berharap enterpreneurship masyarakat terbangun dan menjadi kekuatan dominan dilapangan ekonomi nasional.

Untuk sektor industri dan ”ekonomi atas”, program nasionalisasi perusahaan asing dijalankan untuk mengkonsentrasikan kapital asing menopang operasional negara. Tentu selain bantuan asing khususnya dari COMECON, lembaga dana milik Uni Soviet.

Meski cukup banyak yang berminat untuk terlibat dalam program Benteng, tapi rupaya untuk menjadi satu gerakan ekonomi nasional sudah sangat berat. NU, SI, dan Muhammadiyah, sudah tidak sanggup lagi mengkonsolidasi diri disektor ekonomi. Ditambah lagi huru-hara politik nasional terus berlangsung, berakibat pada friksi dan fragmentasi yang sangat serius.

NU menjadi partai politik, SI menjadi PSII, dan Muhammadiyah ikut dalam aktifitas Masyumi di Pemilu tahun 1955. Pengusaha Tionghoa tetap stabil dan mendapatkan lisensi usaha cukup mudah.

Program nasionalisasi tidak maksimal karena dua hal: disabotase oleh kepentingan angkatan darat dan perangkap perjanjian-perjanjian(linggarjati-KMB) yang telah ditandatangani. Cukup banyak pimpinan militer mendapatkan posisi strategis dalam menangani badan usaha dan perusahaan industri nasional.

Hal ini tidak bisa dipisahkan dari politik Soekarno yang menjaga kestabilan dukungan antara PKI dan angkatan darat. Negara-negara barat bereaksi keras atas program nasionalisasi, dan memaksa indonesia patuh pada seluruh klausul perjanjian terkait hak-hak perusahaan asing pasca-kemerdekaan.

Sejak bung Karno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959, negara disibukkan oleh beragam konflik politik yang berujung pada pergantian kekuasaan tahun 1966. Sejak saat itu riwayat ekonomi pribumi dan konsolidasi ekonomi rakyat makin kabur, bahkan hilang dari peredaran.

Makin lengkap saat Soeharto menetapkan berlakunya UU Penanaman Modal Asing(PMA) no 1 1967 dan UU penanaman modal dalam negeri(PMDN) no 6 1968.

Postur ekonomi Indonesia hanya memberi ruang hidup pada tiga kelompok utama: jaringan konglomerasi Cendana-Tionghoa, bisnis militer, dan kepentingan modal asing.

Koneksi Politik

Usaha kecil dan menengah dikembangkan tapi harus berada dalam mata rantai kontrol negara. Setiap upaya gerak mandiri, bisa dengan mudah dijebak dalam perangkap pelabelan bias ekstrim kiri alias komunis. Dilevel pelaku ekonomi menengah, lahirlah generasi kedua.

Fase ini tidak lagi digawangi oleh pedagang yang memiliki etos dan pemahaman dagang, tapi lebih karena koneksi politik. mereka adalah anak-anak priyayi hasil didikan kolonial. Dalam per-istilah-an, inilah yang populer disebut ersatz capitalist atau kapitalis semu alias kapitalis tukang palak. Mereka membangun satu oligarki politik-ekonomi dan dengan sendirinya melumpuhkan spirit enterpreneurship masyarakat.

SI, Muhammadiyah, dan NU sudah terlanjur "terjebak” oleh arus politik negara. Soeharto mengunci seluruh potensi politik Islam kedalam Partai Persatuan Pembangunan.

Banyak generasi Muhammadiyah masuk kedalam birokrasi dan melupakan basis sosial ekonominya. NU yang terpinggirkan diluar tidak mampu lagi mengembangkan strategi ekonomi sejak Koperasi Syirkah Mu’awanah didirikan tahun 1937.

Nanti setelah gerakan kembali ke khittah yang dipelopori oleh Abdurrahman Wahid, perhatian pada nasib ekonomi warga NU mulai tumbuh lagi.

Bulan februari 1990 Bank Perkreditan Rakyat Nilaiarta didirikan dan dimantapkan pada bulan juni dengan mendirikan BPR Nusumma. Sayang, krisis ekonomi penghujung 1997-1998 melumpuhkannya.

Hingga turunnya Soeharto, anatomi ekonomi nasional kita berdiri diatas pijakan yang rapuh. Program ekonomi benteng Soekarno patah tahun 1959.

Lalu selama 32 tahun, Soeharto berbagi ruang wilayah akumulasi dengan korporasi global. Saat krisis moneter menerpa, IMF dan Bank Dunia melengkapinya dengan ”memaksa secara halus” indonesia taat atas syarat yang tertuang dalam letter of intent (LOI) dengan dua proyek utama: program penyesuaian struktural(structural adjusment program) dan deregulasi.

Ini sepaket dengan kewajiban di ruang pendidikan, kebudayaan, ketatanegaraan, bahkan pertahanan keamanan.

Makin tenggelamlah kita dalam perangkap berlapis, sibuk berpolitik dan lupa bahwa negara yang tidak mandiri secara ekonomi sejatinya hanya menunggu waktu jadi bangsa budak. Suka atau tidak kita harus mengakui kenyataan, bangsa Indonesia hidup diatas kertas perjanjian yang menempatkan negara dan lembaga-lembangan keuangan global sebagai tuan besarnya. Pemerintah beserta aparatur negara, lebih mirip ”barisan orang-orang suruhan” yang hanya memikirkan hidup kelompoknya saja. Kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara hanyalah omong kosong.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline