[caption id="attachment_91181" align="aligncenter" width="350" caption="muara Kaliopak (dok: aziz safa)"][/caption]
Pagi, tepat pukul 6, Ghufran dan Ghafir berjalan menyusuri pantai. Tujuan mereka adalah muara, tempat sungai dan laut bertemu. Selama dalam perjalanan, mereka sering berselisih pendapat. Karena merasa tersinggung dengan pernyataan Ghafir, Ghufran marah dan menampar pipi Ghafir.
“Huh, tega-teganya kau menamparku, Ghuf! Semarah apa pun, bapakku nggak pernah melakukan hal itu!” rutuk Ghafir. Ghafir sakit hati. Tanpa berkata-kata, dengan jari telunjuknya Ghafir kemudian menuliskan kekesalannya itu di pasir dengan huruf kapital:
HARI INI TEMAN TERBAIKKU TELAH MENAMPAR PIPIKU.
Kendati berselisih paham, mereka terus berjalan beriringan sampai mereka menemukan sebuah muara sungai. Sesampai di tempat itu, mereka memutuskan untuk mandi di tepian muara. Saat melepas baju, tiba-tiba Ghafir terjerembab ke air dan terseret arus. Ghufran pun berusaha sekuat tenaga menyelamatkannya. Beberapa saat setelah diselamatkan, Ghafir pun menulis sesuatu di atas batu:
HARI INI TEMAN TERBAIKKU TELAH MENYELAMATKAN HIDUPKU.
Melihat itu, Ghufran pun bertanya, “Setelah aku menamparmu tadi, kau menulis di pasir dan sekarang, kamu menulis di atas batu, kenapa?” Ghafir menjawab, “Ketika seseorang menyakiti kita, kita harus menuliskannya di pasir. Kelak, angin dan ombak pengampunan dapat menghapusnya tanpa jejak. Tapi, ketika seseorang melakukan kebaikan untuk kita, kita harus mengukirnya di batu. Sebab, takkan ada angin dan ombak yang bisa menghapusnya.” "Maafkan aku, Saudaraku!" ucap Ghufran seraya merangkul Ghafir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H