Dalam khasanah sastra Indonesia, novel "Dian yang Tak Kunjung Padam" karya Sultan Takdir Alisjahbana berdiri sebagai monumen pemikiran progresif pada awal abad ke-20. Karya yang diterbitkan tahun 1932 ini tidak sekadar menceritakan kisah cinta, melainkan menghadirkan potret kompleks pergolakan sosial dan intelektual masyarakat Indonesia pada masa kolonial.
Latar Belakang Sosial
Tokoh utama novel, Yasin, adalah representasi kaum terpinggirkan namun bertalenta. Sebagai seorang anak yatim, ia membawa semangat pembebasan melalui pendidikan dan pemikiran kritis. Kontras dengan latar belakangnya, Molek hadir sebagai perempuan bangsawan yang terkungkung oleh tradisi dan ekspektasi sosial ketat yang mengelilinginya.
Pertentangan Tradisi vs Modernitas
Konflik utama novel terletak pada pergulatan pemikiran antara Yasin dan Molek. Yasin mewakili gelombang pembaharuan, memandang maju dengan cara berpikir kritis dan visioner. Ia tidak menerima status quo dan berambisi mengubah tatanan sosial yang dianggapnya membatasi potensi manusia.
Molek, di sisi lain, berada pada simpang jalan. Sebagai perempuan bangsawan, ia dihadapkan pada dilema antara mempertahankan tradisi keluarga atau mengikuti pemikiran progresif yang dibawa Yasin. Perjalanan karakternya menggambarkan pergulatan batin seorang perempuan cerdas yang mencoba membebaskan diri dari belenggu konvensional.
Kritik Sosial dalam Balutan Kisah Cinta
Sultan Takdir Alisjahbana dengan cemerlang menjadikan kisah cinta Yasin dan Molek sebagai medium kritik sosial. Novel ini secara subtil namun tajam mengupas persoalan:
1. Keterbatasan Gerak Perempuan
2. Diskriminasi Kelas Sosial
3. Pentingnya Pendidikan sebagai Alat Transformasi