Lihat ke Halaman Asli

Abdul Mutolib

Pendidik dan pegiat literasi

Tantangan Kepadatan Manusia dalam Haji, Catatan Perjalanan Haji 2024 (Bagian 7)

Diperbarui: 26 Agustus 2024   22:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Simpuh or.id

Berapa perkiraan jumlah manusia di Mekkah ketika musim haji? Pada tahun 2024 ini jumlah jamaah haji resmi yang dirilis oleh General Authority for Statistics Arab Saudi 1,8 Juta. Dari jumlah tersebut jamaah dari kawasan Asia sebanyak 63,3 % , dari kawasan Arab 22,%, dan dari kawasan Afrika 11, 3. Sisanya 3,2% dari Eropa, Australia, Amerika, dan Amerika Latin. Indonesia masih menjadi negara pengirim jamaah haji terbanyak tahun ini dengan jumlah jamaah 241.000 disusul Pakistan dengan 179.210 jamaah dan India  175.025 jamaah.

Indonesia sebenarnya saat ini bukanlah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Saat ini populasi muslim terbesar ada di Pakistan sebanyak 11.8% dari populasi muslim di dunia. Sedangkan populasi muslim di Indonesia 11.1%. Yang menarik adalah India. Kita mengenal India sebagai negara Hindu. Muslim di India hanya 14% Tetapi mengapa  India menjadi negara pengirim jamaah haji nomor tiga? Hal itu karena secara jumlah umat Islam  di India hanya selisih 29 Juta dari jumlah muslim di Indonesia. Saat ini jumlah muslim di India 207 juta, dan jumlah muslim di Indonesia 236 juta. Pada tahun 2030 diperkirakan populasi muslim di India menjadi no.1 atau terbanyak di dunia.

Tentu jumlah yang dikeluarkan oleh otoritas Arab Saudi tersebut tidak mencerminkan jumlah jamaah haji sebenarnya. Hal itu karena di luar jamaah haji resmi banyak juga jamaah haji non resmi dari berbagai negara. Dari Indonesia sendiri jamaah haji yang berangkat dengan visa non haji juga masih banyak. Padahal Indonesia tahun ini memperoleh kuota paling banyak sepanjang sejarah. Di antara jamaah haji non resmi, ada yang memang dengan sengaja dan penuh kesadaran berhaji dengan visa non haji baik itu visa kunjungan, visa multiple dan lainnya. Ada juga yang berumrah mendekati musim haji dan tidak pulang ke tanah air hingga musim haji.

Sebagian yang lain, dan ini yang tampaknya paling banyak, yaitu mereka yang tidak tahu atau tidak tahu menahu tentang haji tidak resmi. Mereka hanya ingin naik haji dengan segera. Ketika ada tawaran haji tanpa antri, mereka memanfaatkan kesempatan tersebut tanpa mengetahui bahwa mereka akan berhaji dengan visa non haji alias haji tidak resmi. Mereka mengira bahwa haji mereka adalah haji plus atau haji furada.

Meskipun tidak ada rilis resmi tentang jumlah keseluruhan manusia yang berhaji  (resmi dan tidak resmi), tetapi padatnya manusia saat berhaji dirasakan nyata oleh para jamaah, terutama ketika shalat rawatib di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan ketika kegiatan puncak haji ARMUZNA (Arafah, Muzdalifah, Mina)

Di antara obrolan yang sering saya dengar dari jamaah "shalat di sini itu gak senyaman di kampung karena selalu berdesak-desakan".  Obrolan ini memang sangat faktual dan menggambarkan fakta yang senyata-nyatanya. Selama 33 hari saya berada di Makkah dan 8 hari di Madinah, tidak pernah menjumpai situasi longgar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Jamaah "ndusel shaf"  atau memaksa masuk ke barisan shalat meskipun spacenya sempit  menjadi pemandangan rutin setiap pelaksanaan shalat berjamaah. Beberapa kali saya mendapatkan jamaah yang sedikit bersitegang karena hal tersebut.  

Di masjid Nabawi bahkan ada fenomena Komunitas babe-babe yang "memboking" tempat di shaf depan. Saya sebut babe-babe karena mereka adalah orang-orang manula pemburu shaf depan. Tampaknya mereka memiliki kesepakatan untuk saling membantu mencarikan tempat di shaf depan. Mereka biasanya menaruh kursi atau sajadah untuk teman-temannya yang belum datang. Sungguh suatu upaya yang menunjukkan semangat meskipun tidak elegan dan tidak sesuai tuntunan sunnah. Kedudukan semua orang saat shalat jamaah sama saja dan tidak ada yang diprioritaskan. Yang berlaku adalah first come first served, yang datang duluan dialah yang berhak mendapat tempat di shaf depan yang memang pahalanya besar.  

Ketika hari pertama saya shalat di masjid Nabawi, saya mendapat pengalaman yang lebih aneh. Ketika itu saya datang hanya beberapa menit menjelang adzan Isya'. Saya masuk melalui pintu 316 yang kalau ditarik garis lurus dari mihrab masjid berada di depannya berapa meter. Saya dan rombongan mendapati jamaah sudah meluber bahkan hingga halaman yang berada di depan mihrab. Kami pun segera mencari shaf di tempat sejurus kami datang.

Setelah melakukan shalat tahiyyatul masjid, saya disapa oleh seorang jamaah dari Afghanistan. Ia memberitahu saya kalau posisi kami berada di depan imam sembari menunjukkan papan yang bertuliskan garis sejajar dengan Imam dalam bahasa Arab dan Inggris. Saya pun jadi kebingungan karena tidak mungkin saya shalat berjamaah berada di depan Imam. Namun di sisi lain tidak ada tempat longgar di belakang. Akhirnya saya dan rombongan memutuskan untuk berjalan ke belakang mencari tempat yang longgar. Tapi hingga puluhan meter kami tidak menemukan tempat yg longgar. Sejauh mata memandang tidak tampak area kosong. Akhirnya kami menggunakan ilmu "ndusel" atau memaksakan diri masuk di antara jamaah meskipun tidak cukup ruang.

Pengalaman hari pertama shalat di masjid Nabawi menyisakan pertanyaan di benak saya. Mengapa banyak jamaah yang membuat barisan di depat garis Imam? Bukannya makmum harus di belakang Imam atau sejajar? Dan mengapa pula para petugas tidak menghalau mereka. Agar rasa penasaran tersebut tidak berlama-lama bersemayam di hati, saya pun melakukan browsing informasi di internet. Ternyata kebanyakan pendapat ulama Saudi membolehkan  dan menilai sah shalatnya makmum yang posisinya di depan Imam jika dalam keadaan darurat seperti karena kepadatan.

Over capacity jamaah memang berdampak pada penurunan kualitas kenyamaan dalam beribadah. Hal itu juga mendatangkan kesulitan-kesulitan lainnya. Kondisi yang paling berat yang dihadapi oleh jamaah haji karena over capacity ini adalah ketika di ARMUZNA. Di Arafah para jamaah dikumpulkan dalam satu tenda untuk setiap kloternya.  Mereka beribadah shalat, berdzikir dan duduk beristirahat dengan space yang sangat sempit. Sebenarnya tenda telah difasilitasi dengan blower besar. Ketika pertama kali memasukinya, hembusan hawa dingin sangat terasa. Namun seiring berjalannya waktu, dengan banyaknya jumlah penghuni, temperatur udara pun di siang hari beranjak panas. Para jamaah memanfaatkan kipas elektrik atau kerdus atau benda apapun yang bisa dijadikan kipas.  Namun semua itu tidak mengurangi kekhidmadan para jamaah dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah. Mereka memanfaatkan momen-momen istijabah yang kemungkinan besar tidak bisa diulang lagi oleh mereka di masa-masa yang akan datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline