Lihat ke Halaman Asli

Abdul Mutolib

Pendidik dan pegiat literasi

Ironi Demokrasi: Dari Politik Dinasti hingga Ingkar Janji

Diperbarui: 21 Juli 2020   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas.com

Sebentar lagi pilkada serentak akan segera bergulir. KPU dan KPUD telah melakukan proses menuju gelaran pilkada serentak di bulan Desember 2020. Ada kesan dipaksakan, karena situasi pandemi covid-19 masih jauh dari mereda. 

Rakyat keumuman juga tidak mengambil sikap apa-apa. Seperti biasanya dalam setiap gelaran pemilu respon rakyat dingin-dingin saja. Yang ramai dan bahkan panas adalah para pendukung kontestan. Tapi kebanyakan rakyat menjadi silent majority. Padahal ketika para pemimpin hasil pemilu tidak perform atau tidak amanah, merekalah yang paling merasakan dampaknya. 

Adakah rakyat kita mengalami lupa ingatan atau amnesia akut, atau terhipnotis secara massal? Setiap datang hajatan pemilu, rakyat selalu enjoy-enjoy saja. Tidak ada kerisauan dan kegelisahan apakah kepemimimpinan hasil pemilu dapat memberi jaminan peningkatan harkat hidup atau pun tidak. 

Rakyat umumnya juga tidak peduli apa itu politik dinasti, atau pun politik uang. Mungkin karena terlalu lama rakyat  hanya memimpikan kesejahteraan yang tak kujung menjadi kenyataan. Dari pada pusing memikirkan politik, lebih baik enjoy saja dan menikmati saweran politik dari para politisi yang suka berbagi. 

Setiap pemilu, bau busuk  demokrasi selalu tercium. Tapi rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Mau ikut membongkar, untuk apa. Paling-paling  ujungnya rakyat repot sendiri. Sedangkan pengaruhnya pada perubahan tidak ada. Ibaratnya "wong legan golek momongan" (sudah enak-enak kok malah cari susah). 

Pemilu sering disebut pesta demokrasi. Pesta untuk siapa? Untuk para pemenang, memang iya. Untuk rakyat tidak. Rakyat hanya bisa menonton bagaimana para pemenang bagi-bagi kekuasaan, dan para  kru mendapat jatah jabatan dengan gaji yang tidak masuk nalar mereka. 

Sementara rakyat dapat apa? Kerjaan tetap susah, harga  kebutuhan pokok selalu sulit dikejar. Pajak-pajak dan biaya listrik naik terus dan terus naik.  Janji-janji kampanye kebanyakan hilang ditelan zaman. 

Sekarang  fenomena  politik dinasti di pilkada serentak mendatang sedang diributkan. Banyaknya calon kontestan dari keluarga penguasa sedang menjadi sorotan. Ada Gibran putra presiden yang dipastikan maju pilkada Solo dengan mandat dari partai PDIP. Selain putra kandung, dari keluarga Jokowi ada menantunya Boby Nasution yang dikabarkan maju di Pilkada Kota Medan. Di Tanggerang Selatan ada Putri wapres yang bakal berhadapan dengan keponakan Prabowo. 

Namun ribut-ribut politik dinasti hanya di kalangan pengamat dan segelintir elit. Dan seperti sebelum-sebelumnya, itu hanya menjadi komsusi media dan tidak mengubah apa-apa. Adapun rakyat adem-adem saja. Bagi rakyat, suara elit saja tidak mengubah apa-apa. Apalagi suara rakyat tingkat angkringan. 

Jika rakyat mencoba pintar sedikit, rakyat tetap tidak bisa mengubah apa-apa. Para elit punya sejuta jurus untuk memanipulasi situasi. Para elit punya segala sumberdaya untuk merekayasa demokrasi, memoles orang biasa menjadi tampak luar biasa, menciptakan tokoh satria piningit ratu adil. Rakyat hanya bisa bertanya-tanya, kok orang pintar di negeri ini susah jadi pemimpin? Lebih laku para pesohor dan politisi dadakan. 

Sejatinya rakyat tidak pernah punya pilihan terbaik. Mereka memilih siapa yang telah dipilihkan oleh elit. Sementara elit tidak ada keinginan yang sungguh-sugguh untuk melahirkan pemimpin dan negarawan. Sebab pemimpin  yang berkaliber negarawan tidak bisa "diarahkan" dan "dimanfaatan" untuk melanggengkan kekuasaan. Sementara pemimpin yang diciptakan mau-tidak mau harus membalas budi para kreatornya. Rakyat hanya bisa mengais asa dalam kegamangan . 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline