"Mulai kerja lagi?" "Ya iyalah?" "Gak takut corona?" Ngapain takut. Kerja risiko kena corona, gak kerja risiko mati kelaparan."
Itulah sekelumit obrolan ringan satu dua kali saya dengar dari orang-orang di masa pandemi covid-19 ini.
Bekerja bagi manusia tidak hanya sebagai kewajiban, tapi juga sebagai perjuangan menyambung hidup. Mungkin bagi sebagian orang tidak bekerja setahun tidak masalah. Apalagi mereka yang sudah mencapai level financial freedom.
Bagi mereka ongkang-ongkang betahun-tahun is ok. Uang mereka sudah mencari uang sendiri. Tapi bagi sekitar 24 juta lebih penduduk Indonesia, perjuangan menyambung hidup tidak lagi hitungan tahun, atat bulan, atau minggu, tapi day to day.
Orang-orang level inilah yang pertama kali gusar ketika terjadi lockdown di awal pandemi. Mereka bahkan marah terhadap kampanye stay at home (ayo tetap di rumah). Kemarahan mereka semakin membuncah tatkala ada pesohor dengan gaya hidup glamor ikut-ikutan bikin meme atau video dengan himbauan "di rumah aja ya!". "Emang kalo kita di rumah, elu-elu pada jamin kebutuhan hidup gue dan anak bini gue?" ungkap mereka.
Beberapa kali pernyataan geram seperti itu muncul di televisi termasuk di ILCnya pak Karni, terutama di awal-awal pandemi. Lebih-lebih ketika itu belum ada kejelasan tentang sekema bantuan pemerintah bagi masyarakat terdampak. Untug solidaritas masyarakat bergerak melaui ormas, rumah ibadah, dan komunitas-komunitas peduli. Hal menjadi peredam ledakan kerisauan masyarakat.
2 bulan berlalu dari lockdown atau psbb atau kondisi luar biasa atau apa pun namanya, sebagian masyarakat juga mulai main kucing-kucingan dengan aparat agar bisa bekerja atau buka usaha lagi.
Kini istilah lockdown atau psbb sudah tidak menggaung lagi, meski masih ada daerah yang menerapkannya. Masyarakat lebih akrab dengan istilah new normal. Yang paling dipahami oleh masyarakat bahwa di masa new normal itu sudah boleh beraktivitas di luar rumah, kecuali di bidang-bidang yang dikendalikan penuh oleh pemerintah seperti pendidikan.
Padahal new normal itu intinya beraktivitas dengan menerapkan perilaku di luar normal, yaitu menjaga jarak, memakai masker dan sering-sering mencuci tangan.
Namun, jika melihat realita di masyarakat, perilaku yang mestinya diterapkan itu jauh panggang dari api. Sarana prasarana new normal yang disediakan tempat-tempat umum, lebih sekedar formalitas. Dalam istilah Jawanya hanya untuk syarat.
Perilaku umumnya masyarakat kembali ke normal. Bahkan di beberapa hari terakhir saat kasus covid melonjak tajam, nyali umumnya orang tak terciutkan dan biasa saja. Padahal belum ada hasil keilmuan yang menurunkan level bahaya penularan covid ini.